Haru No Ai
Rintik hujan membasahi bumi Fukuoka. Mengawali musim dingin dengan paku-paku air yang turun
dari langit. Membasahi pepohonan yang sudah menyulap warna daunnya secantik
mungkin untuk menyambut musim gugur nan syahdu. Dedaunan momiji tampak
terantuk-antuk terkena siraman titik-titik hujan. Ada banyak yang terserak di
jalanan basah. Seolah melukis jalanan dengan paduan warna-warni dedaunannya
yang indah. Merah, oranye, coklat, kuning dan hijau. Membuat suasana musim
gugur yang dingin menjadi begitu romantis.
Setidaknya itulah yang dirasakan Akiko
saat ini. Sore itu dia tengah duduk di dekat jendela kamarnya dengan wajah
berbinar dan hati yang berdebar. Menanti seseorang yang beberapa hari ini telah
menyentuh hatinya. Ya, seorang pemuda dari negeri asing yang tak pernah ia
kenal sebelumnya. Yang tak pernah ia lihat wajahnya. Ia hanya bisa mengenalnya
melalui suara langkah kaki dan juga suaranya yang indah saat ia melantunkan
sebuah nyanyian doa. Ya, sebuah nyanyian doa yang membuat tenteram hatinya.
Meskipun ia tak tahu doa apa itu dan entah kenapa ia begitu terhanyut setiap
mendengar pemuda itu melantunkannya.
Tak lama terdengar suara pagar terbuka.
Suara langkah kaki dan suara bariton khas yang ramah mengucap salam pada
pemilik rumah. Akiko terkesiap. “Dia sudah datang!” serunya dalam hati.
Seketika jemarinya meraba kusen jendela
dan menutupnya. Lalu dengan sedikit tergopoh ia segera mengambil syalnya di
sudut tempat tidur sebelum membuka jendela di sisi lainnya yang berhadapan
langsung dengan jendela kamar pemuda itu. Hujan belum juga berhenti menurunkan
rintiknya ke bumi. Angin dingin tak menyurutkan keinginannya untuk mendengarkan
nyanyian doa nan merdu yang akan dia dengar sebentar lagi.
“Nah, itu dia. Dia sudah memulainya,”
Akiko tersenyum setelah beberapa saat kemudian ia mendengar pemuda itu
melantunkan doanya di sela suara rintik hujan. Gadis itu mendengarkan dengan
seksama. Entah mengapa ia merasa dalam jiwanya seperti mengalir rasa tenang
yang begitu hangat. Akiko tak tahu bacaan apa itu. Yang ia tahu adalah yang ia
rasa, ia dengar dan ia suka.
“Akiko, sedang apa kau? Kenapa kau biarkan
jendela kamarmu terbuka? Udara dingin di luar sana,” suara Tomomi
tiba-tiba terdengar dari arah pintu.
Spontan Akiko menoleh. Matanya yang indah
menatap kakaknya dengan hampa. Bibirnya tersenyum,”ah, tidak ada. Hanya ingin
menikmati hujan saja,” dalihnya.
Tomomi mendekati peraduan adiknya dan
duduk di sebelah Akiko. “Jangan bohong padaku. Aku tahu kau sedang apa,” ujar
Tomomi lagi.
Akiko tersenyum. “Apakah aku tak boleh
mengagumi suaranya?”
“Kenapa kau menyukai lagu aneh itu?”
Tomomi balik bertanya.
“Entahlah,” sahut Akiko seraya mengalihkan
wajah ke arah jendela. “Tomomi, apakah dia berwajah tampan?”
“Ya, menurutku begitu. Tapi masih lebih
tampan Ken-san, pacarku,” jawab Tomomi seraya tertawa. Akiko pun turut tertawa
pelan.
“Dia teman Yamada-san dari Indonesia. Tadi
siang Yamada-san mengenalkannya padaku. Namanya Affan-san. Kata Yamada-san, dia
akan berlibur di sini selama dua minggu.”
“Indonesia? Jauhkah negeri itu dari sini?”
“Tidak, masih lebih jauh Amerika.
Indonesia dekat saja. Hanya beberapa jam saja jika naik pesawat. Memangnya
kenapa?”
“Ah, tidak apa-apa. Hanya ingin tahu saja.”
Kembali Akiko merentang senyap menikmati alunan doa pemuda itu.
Tomomi pun segera beranjak dari kamar
adiknya. Ia tahu jika sudah begitu, Akiko tak mau diganggu.
**&&&**
Pagi yang cerah. Seperti biasa Akiko dengan tongkatnya berangkat menuju halte
bis dekat rumahnya. Kali ini langkahnya agak tergesa. Ia bangun kesiangan dan
sudah agak terlambat menuju sekolah tempatnya mengajar huruf braille. Benar
saja. Tak lama ia mendengar suara deru roda bis sudah berputar di kejauhan
sementara ia masih di seberang jalan.
“Oh, tidak!!! Aku tak boleh terlambat! Chotto
matte! Chotto matte!!!” teriak Akiko. Karena tergesa mengejar bis, Akiko
terpeleset dan jatuh.
“Kamu tidak apa-apa?” seseorang mendekatinya dan berusaha membantunya
berdiri.
Akiko terkesiap. “Ah, suara itu...” ia bergumam dalam hati.
“Akiko-san! Kamu tidak apa-apa kan?” kali ini ia mendengar suara Yamada-san
dengan nada penuh khawatir.
“Tidak, saya tidak apa-apa. Arigatou
Gozaimashita,” ujarnya seraya berusaha berdiri sendiri.
“Yamada-san, bagaimana kalau kita antar saja Akiko-san?” pemuda itu berkata
lagi.
“Eee...tidak usah. Terima kasih. Saya tidak mau merepotkan anda dan
Yamada-san. Biar saya ikut bis berikutnya saja. Sudah, tidak apa-apa,” Akiko
sedikit gugup menolaknya.
Yamada-san menengahi. “Sudahlah, Akiko-san. Aku antar kau ke tempat
kerjamu. Tak usah sungkan begitu. Kita ini, kan, bertetangga. Nanti aku akan
bilang Okasan. Tunggu di sini sebentar. Aku akan mengambil mobil dan memberi
tahu ibumu,” kata Yamada-san sebelum beranjak pergi.
Tinggallah ia berdua dengan teman Yamada-san ini. Affan-san, ya, itu
namanya. Akiko masih ingat betul kata Tomomi semalam.
“Apakah kamu benar-benar tidak apa-apa?” tanya pemuda itu lagi.
Akiko mengangguk seraya menundukkan kepala. Ia heran mendengar Affan-san
bisa berbicara nihon go dengan sangat
fasih. Padahal dia orang asing.
“Watashi wa Affan desu. Dozo
yoroshiku onegai shimasu,” pemuda itu memperkenalkan dirinya. Akiko
merasakan hembusan udara di sekitarnya. Ya, pemuda itu ber-ojigi padanya.
“Watashi wa Akiko desu. Dozo
yoroshiku onegai shimasu,” jawab Akiko dengan ojigi yang sama. “Gomennasai, sudah merepotkan.”
“Iie, doo itashimashite. Sama
sekali tak merepotkan. Tak ada yang ingin terlambat dan ketinggalan bis saya
rasa,” ujar Affan dengan nada bercanda untuk mencairkan suasana.
Akiko tersenyum. Entah kenapa ia merasa
nyaman berada di dekat pemuda ini. Tak lama Yamada-san datang membawa mobilnya.
Affan segera membukakan pintu belakang untuk Akiko lalu duduk di depan bersama
Yamada.
“Apa kau benar-benar tak apa-apa, Akiko-san?” tanya Yamada-san saat melihat
wajah Akiko meringis kesakitan sembari mengusap lututnya yang terbungkus rok
panjang.
Akiko menggelengkan kepalanya. “Sudah tidak apa-apa, Yamada-san. Terima
kasih atas bantuannya. Hanya sakit sedikit saja,” sahut gadis itu.
“Akiko-san kerjanya dimana?” tanya pemuda itu membuat Akiko sedikit
terkesiap.
“Saya mengajar huruf braille di sekolah tunanetra, Affan-san,” jawab Akiko
agak terbata karena gugup.
“Anata wa Sensei desu ka?”
“Hai! soo desu.”
“Akiko-san ini gadis yang sangat bersemangat, Affan-san. Kami bertetangga
sudah lama. Dia sudah seperti adikku sendiri. Harumi, istriku, sangat
menyayanginya. Maklum dia tak punya adik. Itulah kenapa ia menganggap Akiko
seperti adiknya sendiri. Kalau aku sedang tugas ke Indonesia, Akiko sering
menemani istriku dirumah,”ujar Yamada-san
seraya matanya tak lepas dari kaca kemudi.
“Aa...soo desu ka?”Affan tersenyum
menanggapinya.
“Dan sepertinya dia belum punya pacar,” Yamada-san berkata sambil tertawa.
Entah sudah seperti apa wajah Akiko saat itu.Ia tertunduk seraya menyembunyikan wajahnya yang memerah malu.
“Mungkin sudah punya,Yamada-san.Hanya
saja dia tak bilang padamu,”ujar pemuda itu.
“Aku memang belum punya koibito,Yamada-san,”ujarAkiko
pelan. Ih,Yamada-san....!!! Ia tergemas-gemas sendiri tanpa bisa berbuat apa-apa.
Yamada-san tertawa pelan seraya mulai merapatkan mobilnya dipinggir jalan.Tempat
kerja Akiko sudah dekat.Beberapa anak tampak masih berada di halaman sekolah bersama
orangtua yang mengantar mereka. Mereka sangat
bersemangat bersekolah meskipun pagi diselimuti
mendung dan hawa dingin.
“Arigatou Gozaimashita,Yamada-san,
Affan-san,”ucap Akiko seraya ber-ojigi.
“Sama-sama, Akiko-san. Hati-hati,ya,”pesanYamada-san dari balik pintu kemudi.
“Ganbatte, Akiko-san!”suara Affan membuat
senyum manisnya terkembang.
“Hai!”Akiko
mengangguk. Ia melambaikan tangan saat mendengar suara deru mobil Yamada-san mulai
menjauh dari tempatnya berdiri. Seperti ada sesuatu yang hangat menjalari hatinya.Ia
merasa sangat bersemangat hari itu. Langkah kakinya terasa ringan bak terbang di
awang-awang. Wajahnya penuh senyum seraya mengayunkan tongkatnya memasuki gedung sekolah.
***&&&***
Akiko sudah berdiri di depan pintu dapur
Yamada-san dengan dada sedikit berdebar.
Ditangannya ada sebuah nampan makanan buatan Okasan. Semangkuk besar kuri gohan
hangat yang masih mengepul, sepiring sanma furai
dan beberapa potong buah kesemek yang telah bersih dari kulitnya. Makanan ini
khusus Okasan buatkan untuk Yamada-san sekeluarga sebagai ucapan terima kasih
karena tadi sudah menolongnya.
Tangannya mengetuk daun pintu beberapa kali.
Terdengar suara langkah kaki menghampiri. Akiko hapal. Itu suara langkah kaki Harumi.
Wanita itu lalu menyibak tirai dapurnya dan membukakan pintu untuk Akiko.
“Akiko-chan...?” terdengar suara lembut menyapanya
dengan ramah. Akiko-chan adalah panggilan sayang Harumi padanya.”Apa ini?”
Akiko tersenyum.”Okasan menyuruhku memberikan
ini padamu,”ujarnya.
“Aa...soo
desu ka? Masuklah dulu. Diluar dingin,”kata Harumi seraya membimbing Akiko masuk
dan menutup pintu dapur.
“Okasan mengucapkan terimakasih karena tadi
pagi Yamada-san menolong dan mengantarkanku ketempat kerja.”
Harumi mengangguk tanda mengerti.”Seharusnya
tak perlu serepot ini, Akiko-chan. Kita ini kan bertetangga.”
“Sebetulnya bukan aku yang menolongnya, tapi
Affan-san,” tiba-tiba sebuah suara menyeletuk tiba-tiba. Yamada tiba-tiba sudah
berdiri dibelakang istrinya.
Akiko tersenyum seraya menahan debar-debar
halus yang merambati dadanya saat nama itu disebut.”Okasan sangat berterimakasih,Yamada-san.”
“Doo
itashimashite,” jawab Yamada.”Tunggu sebentar, aku akan panggil Affan-san.”
Tak lama suara langkah kaki Yamada beradu dengan tangga kayu menuju ke lantai atas
rumahnya.
“Eh, kenapa wajahmu memerah begitu, Akiko-chan?
Wah,sepertinya ada yang jatuh cinta ini,” Harumi menggodanya seraya tertawa pelan.
Gadis itu hanya tersipu dibuatnya.
Tak lama Yamada turun bersama Affan. Mereka
berdua segera menuju dapur. Saat mereka mendekat, aroma segarnya air dan parfum
yang lembut yang berasal dari badan Affan
seketika merebak ke udara hingga sampai ke syaraf-syaraf pembau Akiko.
“Ayo, kita makan sama-sama sekarang. Kebetulan
Affan-san baru selesai membaca Al Qurannya,”ajak lelaki berperawakan gemuk itu.
“Eee...tidak usah. Saya harus pulang,”tolak
Akiko halus.
“Memangnya kau mau kemana, Akiko-chan? Ayolah
temani kami makan. Kebetulan aku memasak ebi
furai kesukaanmu,”ajak Harumi lagi. Kali ini ia tak bisa menolaknya.
“Wah, benar-benar masakan khas musim gugur.
Kuri gohan, sanma furai dan buah kesemek
ini enak sekali, ya. Ibumu pandai sekali memasak,”puji Yamada saat mereka
bersantap bersama.”Bagaimana menurutmu, Affan-san?”
Akiko tersenyum seraya menegakkan telinga untuk
mendengarkan komentar Affan.
“Totemo
oishii desu ne. Ini benar-benar enak. Hanya disini aku bisa makan ini. Terimakasih,
Akiko-san,”puji Affan tulus.
“Seharusnya saya yang berterima kasih, Affan-san,”Akiko
menundukkan kepalanya sekejab.
“You
are welcome, Akiko-san,”sahut Affan.
**&&&**
“Affan-san, bolehkah aku bertanya sesuatu?”
tanya Akiko saat mereka sedang minum teh diruang tamu bersama Harumi dan Yamada.
“Doozo,”Affan
mempersilahkan.
“Setiap sore hari kau menyanyikan lagu doa.
Lagu doa semacam apa itu?”
“Oh, itu.Yang kau dengar itu bukan lagu doa,tapi
aku sedang membaca Al Quran. Kitab suci agamaku. Agama Islam. Pernah dengar tentang
Islam?”
Akiko mengangguk.”Ya, pernah dengar. Maaf,
tapi yang aku dengar itu agama teroris. Beberapa temanku membicarakannya begitu.”
Affan tersenyum. Ia tak heran dengan apa yang
dikatakan Akiko. ”Islam bukan agama teroris, Akiko. Islam itu sebenarnya agama yang
rahmatan lil alamin. Cinta damai. Agama Islam menyarankan umatnya untuk senantiasa
menyerukan kebaikan dan kerukunan dengan umat yang lain. Seperti yang kau tahu sekarang.
Aku dan Yamada-san bersahabat sejak sama-sama kuliah di Tokyo University. Hingga
akhirnya kami merintis bisnis bersama di Indonesia. Agama bukan halangan bagi kami
untuk bersahabat. Kami saling menghormati satu sama lain,”tutur pemuda itu.
“Aaa...so
desu ka? Jadi Islam itu agama yang cinta damai, ya? Pantas saja lagu doanya
menenangkan hati,”ujar Akiko.
Bibir Affan kembali menyunggingkan senyum.
”Bukan lagu doa, tapi bacaan Al Quran. Kitab suci agama Islam,”pemuda itu kembali
memberi pengertian.
Akiko mengangguk.”Gomen ne. Eee...Affan-san,bisakah aku belajar tentang Islam padamu?”
“Hmm...begini, Akiko-san. Bukan aku tak mau mengajarimu. Lusa aku dan Yamada-san
harus kembali terbang ke Indonesia. Mungkin nanti aku akan meminta bantuan Sakina-san,
temanku dari Islamic Centre. Nanti dia yang
akan mendampingimu mengenal Islam. Bagaimana?”tanya Affan.
“Jadi kau akan pulang ke Indonesia lusa?”
“Ya, bersama Yamada-san. Kenapa?”
“Apa Indonesia itu jauh?”
“Kalau jalan kaki, pasti jauh,”canda pemuda
itu.
Akiko tertawa dibuatnya. Tapi ia tak bisa menyangkal
ada rasa sedih menjalari hatinya. Itu artinya aku tak bisa mendengarkanmu membaca
doamu lagi, bisik hatinya.
“Hanya beberapa jam saja naik pesawat
terbang,” ujar pemuda itu lagi. Kali ini tidak dengan nada bercanda.
“Seperti apa Indonesia itu?”tanya Akiko
lagi.
“Indonesia itu negara yang indah. Matahari
bersinar sepanjang musim. Lautnya membiru indah, gunungnya menghijau
permai,”ujar Affan dengan mata menerawang jauh.
“Kedengarannya negara itu sangat indah.
Sayang aku tak bisa melihatnya,”kata Akiko pelan.
“Gomen
ne. Aku tak bermaksud untuk ....”
“Tidak mengapa, Affan-san. Aku tak
menyesal menjadi buta sejak aku kecil. Dewa di atas sana pasti punya maksud
baik padaku.”
“Kau gadis yang baik, Akiko,”puji Affan tulus. Andai kau tahu betapa cantik
wajahmu, batin pemuda itu seraya beristighfar dalam hati.
Tiba-tiba Yamada-san datang seraya
menenteng hape di tangannya. “Kita harus kembali ke Indonesia besok, Affan-san. Klien minta tanda tangan kontrak
kerja dengan kita dipercepat sebab dia harus mengurusi bisnisnya yang lain di
Amerika,”ujarnya.
“Baiklah, kita pulang besok. Ambil
penerbangan kapan?”
“Kita ambil pagi saja. Aku akan pesankan
tiketnya sekarang.” Yamada-san segera naik ke lantai atas menuju ruang
kerjanya.
Sementara Harumi yang sedari tadi menyimak
pembicaraan mereka seraya menonton tivi, meninggalkan mereka sebentar dan datang
dengan sepiring kue waffle coklat buatannya. “Ayo dicicipi. Masih
hangat,”ujarnya ramah.
Akiko terdiam. Hatinya resah. Kue waffle
coklat buatan Harumi yang hangat dan legit itu serasa hambar di mulutnya.
Kenapa harus besok? Kenapa? Oh, Dewa, jangan biarkan dia pergi secepat ini,
batinnya. Dia tak menyadari Harumi memperhatikannya sedari tadi.
**&&&**
Hari ini hari minggu. Cuaca berawan tapi
tak menyurutkan anak-anak yang riang gembira bermain di sebuah kouen bersama orang tua mereka. Semua
terlihat ceria dengan sweater dan syal yang menggantung di leher. Menjelang
akhir musim gugur begini, hawanya mulai beranjak dingin dari yang sudah-sudah.
Pepohonan momiji masih menyisakan dedaunannya di sela-sela ranting yang mulai
meranggas. Beberapa berguguran tersepak kesana kemari oleh angin. Hingga salah
satu daunnya hinggap di ujung sepatu Akiko.
Gadis itu merapatkan baju hangatnya.
Sesekali ia betulkan letak jilbab di kepalanya. Ia memang tak biasa memakai
kain di kepalanya. Tapi ia merasa harus melakukannya. Kata Sakina-san ini salah
satu menjadi muslimah yang baik. Lagipula ia merasa hangat dan nyaman dari
udara dingin di sekitarnya. Tak lama ia mendengar suara langkah kaki mendekati
bangku tempatnya duduk.
“Ini untukmu,” suara Sakina yang ramah
terdengar lembut di telinganya. Ia menyodorkan sepotong ishiyaki imo yang masih
panas mengepul dan berbungkus kertas pada Akiko.
“Arigatou,
Sakina-san.” Ia menerima ubi bakar itu dan mulai membuka kulitnya pelan-pelan.
Bibirnya tak henti meniup-niup ubi yang masih panas itu lalu menikmatinya.
“Asyik juga, ya, dingin-dingin begini
makan ishiyaki imo. Badan jadi
hangat,” kata Sakina.
Akiko tersenyum. “Ya, kau benar.
Seandainya ada Affan-san, pasti lebih menyenangkan, ya,” ujar Akiko membuat
Sakina tak jadi memakan ubi bakarnya. “Apa kabarnya dia sekarang? Apakah kau
tahu, Sakina-san, aku sangat merindukannya.”
Sakina memeluk Akiko dengan tangan
kirinya. “Akiko-san, perasaan cintamu pada Affan-san itu tak salah. Perasaan itu
merupakan anugrah yang suci dari Allah untuk makhlukNya. Tapi akan lebih baik
jika cinta putih itu lebih dialamatkan pada Allah, Tuhan pemilik alam semesta.
Jodoh manusia itu sudah ada yang mengatur. Jadi berserahlah padaNya,
Akiko-san,” nasehat gadis bermata indah itu.
“Ya, kau benar, Sakina-san.”
“Hei, bersemangatlah, Akiko-san. Allah
pasti menyiapkan lelaki yang terbaik untukmu, yang bisa membimbingmu dan
menjadi imammu. Insyaallah. Yakinlah itu,” ujar Sakina membesarkan hati Akiko.
Tiba-tiba ponsel Sakina berbunyi. Ada
pesan dari Harumi-san. “Sudahkah kau memberitahu Akiko yang sebenarnya?” Fuh!
Sakina menghela napas berat. Akiko terkesiap.
“Ada apa, Sakina-san?”
“Ah, tidak apa-apa, Akiko-san. Hanya
sebuah pesan dari temanku.”
“Aaa...so
desu ka?” ujar Akiko seraya terus menikmati ishiyaki imonya.
“Hai!”
jawab Sakina seraya tersenyum dan mengeluarkan sebuah undangan dari saku
bajunya. Ya, undangan pernikahan Affan yang ia terima kemaren dari Indonesia.
Aku harus membesarkan hati Akiko agar ia lebih siap menerima kenyataan sebelum
aku memberitahu yang sebenarnya, batin Sakina dengan tenggorokan yang tercekat.
Sementara Akiko bersenandung pelan
diliputi hati yang merindu. “Haru
no...Haru no Ai. Ki no momiji shita ni anata o machimasu. Momiji ga chiru...anata
ga koishi. Itsu kaereru desu ka?”
Dan dedaunan momiji pun berguguran tertiup
angin bersama senandung rindu seorang gadis yang menyentuh kalbu.
**TAMAT**
Catatan :
1.
Sanma
furai : ikan sanma goreng.
2.
Ebi
furai : udang goreng
3.
Kuri
gohan : nasi yang dicampur biji kuri (seperti kacang)
4.
Ishiyaki
imo : ubi bakar
5.
Haru
no Ai : cinta musim gugur
6.
Ki no
momiji shita ni anata o machimasu : menunggumu dibawah pohon momiji.
7.
Momiji
ga chiru : daun momiji berguguran.
8.
Anata
ga koishi : merindukanmu.
9.
Itsu
kaereru desu ka? : kapan bisa pulang?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar