Minggu, 10 Juni 2012

My Short Story 2


Haru No Ai


Rintik hujan membasahi bumi Fukuoka. Mengawali  musim dingin dengan paku-paku air yang turun dari langit. Membasahi pepohonan yang sudah menyulap warna daunnya secantik mungkin untuk menyambut musim gugur nan syahdu. Dedaunan momiji tampak terantuk-antuk terkena siraman titik-titik hujan. Ada banyak yang terserak di jalanan basah. Seolah melukis jalanan dengan paduan warna-warni dedaunannya yang indah. Merah, oranye, coklat, kuning dan hijau. Membuat suasana musim gugur yang dingin menjadi begitu romantis.
Setidaknya itulah yang dirasakan Akiko saat ini. Sore itu dia tengah duduk di dekat jendela kamarnya dengan wajah berbinar dan hati yang berdebar. Menanti seseorang yang beberapa hari ini telah menyentuh hatinya. Ya, seorang pemuda dari negeri asing yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Yang tak pernah ia lihat wajahnya. Ia hanya bisa mengenalnya melalui suara langkah kaki dan juga suaranya yang indah saat ia melantunkan sebuah nyanyian doa. Ya, sebuah nyanyian doa yang membuat tenteram hatinya. Meskipun ia tak tahu doa apa itu dan entah kenapa ia begitu terhanyut setiap mendengar pemuda itu melantunkannya.
Tak lama terdengar suara pagar terbuka. Suara langkah kaki dan suara bariton khas yang ramah mengucap salam pada pemilik rumah. Akiko terkesiap. “Dia sudah datang!” serunya dalam hati.
Seketika jemarinya meraba kusen jendela dan menutupnya. Lalu dengan sedikit tergopoh ia segera mengambil syalnya di sudut tempat tidur sebelum membuka jendela di sisi lainnya yang berhadapan langsung dengan jendela kamar pemuda itu. Hujan belum juga berhenti menurunkan rintiknya ke bumi. Angin dingin tak menyurutkan keinginannya untuk mendengarkan nyanyian doa nan merdu yang akan dia dengar sebentar lagi.
“Nah, itu dia. Dia sudah memulainya,” Akiko tersenyum setelah beberapa saat kemudian ia mendengar pemuda itu melantunkan doanya di sela suara rintik hujan. Gadis itu mendengarkan dengan seksama. Entah mengapa ia merasa dalam jiwanya seperti mengalir rasa tenang yang begitu hangat. Akiko tak tahu bacaan apa itu. Yang ia tahu adalah yang ia rasa, ia dengar dan ia suka.
“Akiko, sedang apa kau? Kenapa kau biarkan jendela kamarmu terbuka? Udara dingin di luar sana,” suara Tomomi tiba-tiba  terdengar dari arah pintu.
Spontan Akiko menoleh. Matanya yang indah menatap kakaknya dengan hampa. Bibirnya tersenyum,”ah, tidak ada. Hanya ingin menikmati hujan saja,” dalihnya.
Tomomi mendekati peraduan adiknya dan duduk di sebelah Akiko. “Jangan bohong padaku. Aku tahu kau sedang apa,” ujar Tomomi lagi.
Akiko tersenyum. “Apakah aku tak boleh mengagumi suaranya?”
“Kenapa kau menyukai lagu aneh itu?” Tomomi balik bertanya.
“Entahlah,” sahut Akiko seraya mengalihkan wajah ke arah jendela. “Tomomi, apakah dia berwajah tampan?”
“Ya, menurutku begitu. Tapi masih lebih tampan Ken-san, pacarku,” jawab Tomomi seraya tertawa. Akiko pun turut tertawa pelan.
“Dia teman Yamada-san dari Indonesia. Tadi siang Yamada-san mengenalkannya padaku. Namanya Affan-san. Kata Yamada-san, dia akan berlibur di sini selama dua minggu.”
“Indonesia? Jauhkah negeri itu dari sini?”
“Tidak, masih lebih jauh Amerika. Indonesia dekat saja. Hanya beberapa jam saja jika naik pesawat. Memangnya kenapa?”
“Ah, tidak apa-apa. Hanya ingin tahu saja.” Kembali Akiko merentang senyap menikmati alunan doa pemuda itu.
Tomomi pun segera beranjak dari kamar adiknya. Ia tahu jika sudah begitu, Akiko tak mau diganggu.
**&&&**
Pagi yang cerah.  Seperti  biasa  Akiko dengan tongkatnya berangkat menuju halte bis dekat rumahnya. Kali ini langkahnya agak tergesa. Ia bangun kesiangan dan sudah agak terlambat menuju sekolah tempatnya mengajar huruf braille. Benar saja. Tak lama ia mendengar suara deru roda bis sudah berputar di kejauhan sementara ia masih di seberang jalan.
“Oh, tidak!!! Aku tak boleh terlambat! Chotto matte! Chotto matte!!!” teriak Akiko. Karena tergesa mengejar bis, Akiko terpeleset dan jatuh.
“Kamu tidak apa-apa?” seseorang mendekatinya dan berusaha membantunya berdiri.
Akiko terkesiap. “Ah, suara itu...” ia bergumam dalam hati.
“Akiko-san! Kamu tidak apa-apa kan?” kali ini ia mendengar suara Yamada-san dengan nada penuh khawatir.
“Tidak, saya tidak apa-apa. Arigatou Gozaimashita,” ujarnya seraya berusaha berdiri sendiri.
“Yamada-san, bagaimana kalau kita antar saja Akiko-san?” pemuda itu berkata lagi.
“Eee...tidak usah. Terima kasih. Saya tidak mau merepotkan anda dan Yamada-san. Biar saya ikut bis berikutnya saja. Sudah, tidak apa-apa,” Akiko sedikit gugup menolaknya.
Yamada-san menengahi. “Sudahlah, Akiko-san. Aku antar kau ke tempat kerjamu. Tak usah sungkan begitu. Kita ini, kan, bertetangga. Nanti aku akan bilang Okasan. Tunggu di sini sebentar. Aku akan mengambil mobil dan memberi tahu ibumu,” kata Yamada-san sebelum beranjak pergi.
Tinggallah ia berdua dengan teman Yamada-san ini. Affan-san, ya, itu namanya. Akiko masih ingat betul kata Tomomi semalam.
“Apakah kamu benar-benar tidak apa-apa?” tanya pemuda itu lagi.
Akiko mengangguk seraya menundukkan kepala. Ia heran mendengar Affan-san bisa berbicara nihon go dengan sangat fasih. Padahal dia orang asing.
Watashi wa Affan desu. Dozo yoroshiku onegai shimasu,” pemuda itu memperkenalkan dirinya. Akiko merasakan hembusan udara di sekitarnya. Ya, pemuda itu ber-ojigi padanya.
Watashi wa Akiko desu. Dozo yoroshiku onegai shimasu,” jawab Akiko dengan ojigi yang sama. “Gomennasai, sudah merepotkan.”
Iie, doo itashimashite. Sama sekali tak merepotkan. Tak ada yang ingin terlambat dan ketinggalan bis saya rasa,” ujar Affan dengan nada bercanda untuk mencairkan suasana.
Akiko tersenyum. Entah kenapa ia merasa nyaman berada di dekat pemuda ini. Tak lama Yamada-san datang membawa mobilnya. Affan segera membukakan pintu belakang untuk Akiko lalu duduk di depan bersama Yamada.
“Apa kau benar-benar tak apa-apa, Akiko-san?” tanya Yamada-san saat melihat wajah Akiko meringis kesakitan sembari mengusap lututnya yang terbungkus rok panjang.
Akiko menggelengkan kepalanya. “Sudah tidak apa-apa, Yamada-san. Terima kasih atas bantuannya. Hanya sakit sedikit saja,” sahut gadis itu.
“Akiko-san kerjanya dimana?” tanya pemuda itu membuat Akiko sedikit terkesiap.
“Saya mengajar huruf braille di sekolah tunanetra, Affan-san,” jawab Akiko agak terbata karena gugup.
Anata wa Sensei desu ka?”
Hai! soo desu.”
“Akiko-san ini gadis yang sangat bersemangat, Affan-san. Kami bertetangga sudah lama. Dia sudah seperti adikku sendiri. Harumi, istriku, sangat menyayanginya. Maklum dia tak punya adik. Itulah kenapa ia menganggap Akiko seperti adiknya sendiri. Kalau aku sedang tugas ke Indonesia, Akiko sering menemani  istriku dirumah,”ujar Yamada-san seraya matanya tak lepas dari kaca kemudi.
Aa...soo desu ka?”Affan tersenyum menanggapinya.
“Dan sepertinya dia belum punya pacar,” Yamada-san berkata sambil tertawa.
Entah sudah seperti apa wajah Akiko saat itu.Ia tertunduk seraya  menyembunyikan wajahnya  yang memerah malu.
“Mungkin sudah  punya,Yamada-san.Hanya saja dia tak bilang padamu,”ujar pemuda itu.
“Aku memang belum punya koibito,Yamada-san,”ujarAkiko pelan. Ih,Yamada-san....!!! Ia tergemas-gemas sendiri tanpa bisa berbuat apa-apa.
Yamada-san tertawa pelan seraya mulai merapatkan mobilnya dipinggir jalan.Tempat kerja Akiko sudah dekat.Beberapa anak tampak masih berada di halaman sekolah bersama orangtua yang mengantar  mereka. Mereka sangat bersemangat bersekolah meskipun pagi diselimuti  mendung dan  hawa dingin.
Arigatou Gozaimashita,Yamada-san, Affan-san,”ucap Akiko seraya ber-ojigi.
“Sama-sama, Akiko-san. Hati-hati,ya,”pesanYamada-san dari balik pintu kemudi.
Ganbatte, Akiko-san!”suara  Affan  membuat senyum  manisnya terkembang.
Hai!”Akiko mengangguk. Ia melambaikan tangan saat mendengar suara deru mobil Yamada-san mulai menjauh dari tempatnya berdiri. Seperti ada sesuatu yang hangat menjalari hatinya.Ia merasa sangat bersemangat hari itu. Langkah kakinya terasa ringan bak terbang di awang-awang. Wajahnya penuh senyum seraya mengayunkan tongkatnya  memasuki gedung sekolah.
***&&&***
Akiko sudah berdiri di depan pintu dapur Yamada-san dengan  dada sedikit berdebar. Ditangannya ada sebuah nampan makanan buatan Okasan. Semangkuk besar kuri  gohan hangat yang  masih  mengepul, sepiring  sanma furai dan beberapa potong buah kesemek yang telah bersih dari kulitnya. Makanan ini khusus Okasan buatkan untuk Yamada-san sekeluarga sebagai ucapan terima kasih karena tadi sudah menolongnya.
Tangannya mengetuk daun pintu beberapa kali. Terdengar suara langkah kaki menghampiri. Akiko hapal. Itu suara langkah kaki Harumi. Wanita itu lalu menyibak tirai dapurnya dan membukakan pintu untuk Akiko.
“Akiko-chan...?” terdengar suara lembut menyapanya dengan ramah. Akiko-chan adalah panggilan sayang Harumi padanya.”Apa ini?”
Akiko tersenyum.”Okasan menyuruhku memberikan ini padamu,”ujarnya.
Aa...soo desu ka? Masuklah dulu. Diluar dingin,”kata Harumi seraya membimbing Akiko masuk dan menutup pintu dapur.
“Okasan mengucapkan terimakasih karena tadi pagi Yamada-san menolong dan mengantarkanku ketempat kerja.”
Harumi mengangguk tanda mengerti.”Seharusnya tak perlu serepot ini, Akiko-chan. Kita ini kan bertetangga.”
“Sebetulnya bukan aku yang menolongnya, tapi Affan-san,” tiba-tiba sebuah suara menyeletuk tiba-tiba. Yamada tiba-tiba sudah berdiri dibelakang istrinya.
Akiko tersenyum seraya menahan debar-debar halus yang merambati dadanya saat nama itu disebut.”Okasan sangat berterimakasih,Yamada-san.”
Doo itashimashite,” jawab Yamada.”Tunggu sebentar, aku akan panggil Affan-san.” Tak lama suara langkah kaki Yamada beradu dengan tangga kayu menuju ke lantai atas rumahnya.
“Eh, kenapa wajahmu memerah begitu, Akiko-chan? Wah,sepertinya ada yang jatuh cinta ini,” Harumi menggodanya seraya tertawa pelan.
Gadis itu hanya tersipu dibuatnya.
Tak lama Yamada turun bersama Affan. Mereka berdua segera menuju dapur. Saat mereka mendekat, aroma segarnya air dan parfum yang lembut yang berasal dari badan Affan  seketika merebak ke udara hingga sampai ke syaraf-syaraf pembau Akiko.
“Ayo, kita makan sama-sama sekarang. Kebetulan Affan-san baru selesai membaca Al Qurannya,”ajak lelaki berperawakan gemuk itu.
“Eee...tidak usah. Saya harus pulang,”tolak Akiko halus.
“Memangnya kau mau kemana, Akiko-chan? Ayolah temani kami makan. Kebetulan aku memasak ebi furai kesukaanmu,”ajak Harumi lagi. Kali ini ia tak bisa menolaknya.
“Wah, benar-benar masakan khas musim gugur. Kuri gohan, sanma furai dan buah kesemek ini enak sekali, ya. Ibumu pandai sekali memasak,”puji Yamada saat mereka bersantap bersama.”Bagaimana menurutmu, Affan-san?”
Akiko tersenyum seraya menegakkan telinga untuk mendengarkan komentar Affan.
Totemo oishii desu ne. Ini benar-benar enak. Hanya disini aku bisa makan ini. Terimakasih, Akiko-san,”puji  Affan tulus.
“Seharusnya saya yang berterima kasih, Affan-san,”Akiko menundukkan kepalanya sekejab.
You are welcome, Akiko-san,”sahut Affan.
**&&&**
“Affan-san, bolehkah aku bertanya sesuatu?” tanya Akiko saat mereka sedang minum teh diruang tamu bersama Harumi dan Yamada.
Doozo,”Affan mempersilahkan.
“Setiap sore hari kau menyanyikan lagu doa. Lagu doa semacam apa itu?”
“Oh, itu.Yang kau dengar itu bukan lagu doa,tapi aku sedang membaca Al Quran. Kitab suci agamaku. Agama Islam. Pernah dengar tentang Islam?”
Akiko mengangguk.”Ya, pernah dengar. Maaf, tapi yang aku dengar itu agama teroris. Beberapa temanku membicarakannya begitu.”
Affan tersenyum. Ia tak heran dengan apa yang dikatakan Akiko. ”Islam bukan agama teroris, Akiko. Islam itu sebenarnya agama yang rahmatan lil alamin. Cinta damai. Agama Islam menyarankan umatnya untuk senantiasa menyerukan kebaikan dan kerukunan dengan umat yang lain. Seperti yang kau tahu sekarang. Aku dan Yamada-san bersahabat sejak sama-sama kuliah di Tokyo University. Hingga akhirnya kami merintis bisnis bersama di Indonesia. Agama bukan halangan bagi kami untuk bersahabat. Kami saling menghormati satu sama lain,”tutur pemuda itu.
Aaa...so desu ka? Jadi Islam itu agama yang cinta damai, ya? Pantas saja lagu doanya menenangkan hati,”ujar Akiko.
Bibir Affan kembali menyunggingkan senyum. ”Bukan lagu doa, tapi bacaan Al Quran. Kitab suci agama Islam,”pemuda itu kembali memberi pengertian.
Akiko mengangguk.”Gomen ne. Eee...Affan-san,bisakah aku belajar tentang Islam padamu?”
“Hmm...begini,  Akiko-san.  Bukan aku tak mau mengajarimu. Lusa aku dan Yamada-san harus kembali terbang ke Indonesia. Mungkin nanti aku akan meminta bantuan Sakina-san, temanku dari Islamic  Centre. Nanti dia yang akan mendampingimu mengenal Islam. Bagaimana?”tanya Affan.
“Jadi kau akan pulang ke Indonesia lusa?”
“Ya, bersama Yamada-san. Kenapa?”
“Apa Indonesia itu jauh?”
“Kalau jalan kaki, pasti jauh,”canda pemuda itu.
Akiko tertawa dibuatnya. Tapi ia tak bisa menyangkal ada rasa sedih menjalari hatinya. Itu artinya aku tak bisa mendengarkanmu membaca doamu lagi, bisik hatinya.
“Hanya beberapa jam saja naik pesawat terbang,” ujar pemuda itu lagi. Kali ini tidak dengan nada bercanda.
“Seperti apa Indonesia itu?”tanya Akiko lagi.
“Indonesia itu negara yang indah. Matahari bersinar sepanjang musim. Lautnya membiru indah, gunungnya menghijau permai,”ujar Affan dengan mata menerawang jauh.
“Kedengarannya negara itu sangat indah. Sayang aku tak bisa melihatnya,”kata Akiko pelan.
Gomen ne. Aku tak bermaksud untuk ....”
“Tidak mengapa, Affan-san. Aku tak menyesal menjadi buta sejak aku kecil. Dewa di atas sana pasti punya maksud baik padaku.”
“Kau gadis yang baik, Akiko,”puji  Affan tulus. Andai kau tahu betapa cantik wajahmu, batin pemuda itu seraya beristighfar dalam hati.
Tiba-tiba Yamada-san datang seraya menenteng hape di tangannya. “Kita harus kembali ke Indonesia besok,  Affan-san. Klien minta tanda tangan kontrak kerja dengan kita dipercepat sebab dia harus mengurusi bisnisnya yang lain di Amerika,”ujarnya.
“Baiklah, kita pulang besok. Ambil penerbangan kapan?”
“Kita ambil pagi saja. Aku akan pesankan tiketnya sekarang.” Yamada-san segera naik ke lantai atas menuju ruang kerjanya.
Sementara Harumi yang sedari tadi menyimak pembicaraan mereka seraya menonton tivi, meninggalkan mereka sebentar dan datang dengan sepiring kue waffle coklat buatannya. “Ayo dicicipi. Masih hangat,”ujarnya ramah.
Akiko terdiam. Hatinya resah. Kue waffle coklat buatan Harumi yang hangat dan legit itu serasa hambar di mulutnya. Kenapa harus besok? Kenapa? Oh, Dewa, jangan biarkan dia pergi secepat ini, batinnya. Dia tak menyadari Harumi memperhatikannya sedari tadi.
**&&&**
Hari ini hari minggu. Cuaca berawan tapi tak menyurutkan anak-anak yang riang gembira bermain di sebuah kouen bersama orang tua mereka. Semua terlihat ceria dengan sweater dan syal yang menggantung di leher. Menjelang akhir musim gugur begini, hawanya mulai beranjak dingin dari yang sudah-sudah. Pepohonan momiji masih menyisakan dedaunannya di sela-sela ranting yang mulai meranggas. Beberapa berguguran tersepak kesana kemari oleh angin. Hingga salah satu daunnya hinggap di ujung sepatu Akiko.
Gadis itu merapatkan baju hangatnya. Sesekali ia betulkan letak jilbab di kepalanya. Ia memang tak biasa memakai kain di kepalanya. Tapi ia merasa harus melakukannya. Kata Sakina-san ini salah satu menjadi muslimah yang baik. Lagipula ia merasa hangat dan nyaman dari udara dingin di sekitarnya. Tak lama ia mendengar suara langkah kaki mendekati bangku tempatnya duduk.
“Ini untukmu,” suara Sakina yang ramah terdengar lembut di telinganya. Ia menyodorkan sepotong  ishiyaki imo yang masih panas mengepul dan berbungkus kertas pada Akiko.
Arigatou, Sakina-san.” Ia menerima ubi bakar itu dan mulai membuka kulitnya pelan-pelan. Bibirnya tak henti meniup-niup ubi yang masih panas itu lalu menikmatinya.
“Asyik juga, ya, dingin-dingin begini makan ishiyaki imo. Badan jadi hangat,” kata Sakina.
Akiko tersenyum. “Ya, kau benar. Seandainya ada Affan-san, pasti lebih menyenangkan, ya,” ujar Akiko membuat Sakina tak jadi memakan ubi bakarnya. “Apa kabarnya dia sekarang? Apakah kau tahu, Sakina-san, aku sangat merindukannya.”
Sakina memeluk Akiko dengan tangan kirinya. “Akiko-san, perasaan cintamu pada Affan-san itu tak salah. Perasaan itu merupakan anugrah yang suci dari Allah untuk makhlukNya. Tapi akan lebih baik jika cinta putih itu lebih dialamatkan pada Allah, Tuhan pemilik alam semesta. Jodoh manusia itu sudah ada yang mengatur. Jadi berserahlah padaNya, Akiko-san,” nasehat gadis bermata indah itu.
“Ya, kau benar, Sakina-san.”
“Hei, bersemangatlah, Akiko-san. Allah pasti menyiapkan lelaki yang terbaik untukmu, yang bisa membimbingmu dan menjadi imammu. Insyaallah. Yakinlah itu,” ujar Sakina membesarkan hati Akiko.
Tiba-tiba ponsel Sakina berbunyi. Ada pesan dari Harumi-san. “Sudahkah kau memberitahu Akiko yang sebenarnya?” Fuh! Sakina menghela napas berat. Akiko terkesiap.
“Ada apa, Sakina-san?”
“Ah, tidak apa-apa, Akiko-san. Hanya sebuah pesan dari temanku.”
Aaa...so desu ka?” ujar Akiko seraya terus menikmati ishiyaki imonya.
Hai!” jawab Sakina seraya tersenyum dan mengeluarkan sebuah undangan dari saku bajunya. Ya, undangan pernikahan Affan yang ia terima kemaren dari Indonesia. Aku harus membesarkan hati Akiko agar ia lebih siap menerima kenyataan sebelum aku memberitahu yang sebenarnya, batin Sakina dengan tenggorokan yang tercekat.
Sementara Akiko bersenandung pelan diliputi hati yang merindu. “Haru no...Haru no Ai. Ki no momiji shita ni anata o machimasu. Momiji ga chiru...anata ga koishi. Itsu kaereru desu ka?”
Dan dedaunan momiji pun berguguran tertiup angin bersama senandung rindu seorang gadis yang menyentuh kalbu.
**TAMAT**
Catatan :
1.       Sanma furai : ikan sanma goreng.
2.       Ebi furai : udang goreng
3.       Kuri gohan : nasi yang dicampur biji kuri (seperti kacang)
4.       Ishiyaki imo : ubi bakar
5.       Haru no Ai : cinta musim gugur
6.       Ki no momiji shita ni anata o machimasu : menunggumu dibawah pohon momiji.
7.       Momiji ga chiru : daun momiji berguguran.
8.       Anata ga koishi : merindukanmu.
9.       Itsu kaereru desu ka? : kapan bisa pulang?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar