Edelweiss Untuk
Fatimah
Kaki-kaki
kecil Akhtar berlari menyambut
kedatanganku. Tak ada wajah ceria seperti biasanya. Matanya sembab seperti
habis menangis. Belum sempat aku parkir sepeda onta tuaku, Akhtar sudah
menghambur ke arahku. Tangan-tangan kecilnya mendekap erat tubuhku yang masih
bau keringat. Aku tersenyum. Kuelus kepalanya seperti biasanya.
“Eh, ada apa
ini? Kok, jagoane Bulik Fat nangis to? Katanya laki-laki ndak boleh cengeng?”
hiburku. “Kamu diganggu Mas Sigit lagi?”
Kepalanya
menggeleng. “Buk’e…Buk’e…” cuma itu yang keluar dari bibir mungilnya dan tangisnya
pecah lagi.
“Buk’e
kenapa?”
“Buk’e sakit
lagi…hiks…hiks…hiks!!!”
“Yo wis, yo
wis…cup cup cup, ndak boleh nangis. Ayo, kita masuk dulu,” ujarku seraya
memarkir sepeda dan menggendong bocah empat tahun itu ke dalam rumah.
Rumah Yu Dijah
terlihat lengang. Sepi tak ada orang. Kulangkahkan kaki menuju kamar kakak
perempuanku itu. Disana kudapati
keponakan-keponakanku yang besar sedang menunggui ibunya yang sakit. Kinasih, si sulung sedang menyuapi bubur
ibunya. Siti dan Sigit, anak-anaknya yang lain sedang memijit-mijit kaki
ibunya.
“Baru
pulang, Fat? “ tanya Yu Dijah padaku. Wajahnya yang pucat dan kuyu mencoba
tersenyum padaku. Badannya tampak kurus kering digerogoti kanker rahim yang
bersarang di tubuhnya.
“Iya,
Yu,” jawabku seraya menurunkan Akhtar dari gendonganku. “Sudah minum obat?”
“Tadi
pagi sudah, bulik. Siangnya yang belum. Ini buburnya belum habis. Tadi Buk’e
kesakitan lagi,” ujar Kinasih.
“Iya,
barusan sebelum bulik datang, buk’e kesakitan lagi. Akhtar sampai takut dan
nangis,” sahut Sigit.
“Bapakmu
kemana?” tanyaku.
“Bapak
tadi pulang sebentar, sekarang lagi nyusul
pak dokter Hasan. Sebentar lagi mungkin datang. Kita disuruh tunggu di
sini,” kata Kinasih lagi. Gadis berumur lima belas tahun itu tampak telaten
menyuapi ibunya.
“Sudah,
Sih,” Yu Dijah menyorongkan piring dengan tangannya. Ia tak ingin makan lagi.
“Buk’e,
dihabiskan dulu. Satu suap lagi ya. Nanti habis ini minum obat terus tidur,”
bujuk anak sulungnya.
Yu
Dijah menggeleng. “Wis!” tegasnya. Tak mau lagi. Kinasih pun mengalah lalu
meminumkan obat pada ibunya. Setelah itu dia beranjak ke dapur untuk mencuci
piring dan gelas yang kotor.
“Sigit,
Siti, ajak main Akhtar ke luar ya, nak. Buk’e mau sama bulik Fat sebentar,”
pinta Yu Dijah pada anak-anaknya yang lain.
Tanpa
banyak bicara kedua anak itu turun dari ranjang ibunya dan menggendong adik
mereka keluar kamar untuk bermain. Kini tinggal aku dan Yu Dijah berdua saja.
Yu Dijah menyuruhku menutup pintu kamar.
“Ada
apa, to, Yu? Kok sampai menutup pintu segala?” tanyaku.
“Aku
mau ngomong sama kamu, Fat. Ini penting,” ujar
kakakku itu.” Sini…duduk sini.”
“Ada
apa, Yu?” tanyaku setelah duduk di sisinya.
“Fat….,”
Yu
Dijah terdiam sebentar. Matanya yang cekung dan menghitam seperti menerawang.
Lalu menatapku dengan berkaca-kaca.
“Fat….aku
merasa hidupku tidak lama lagi. Aku tahu penyakitku ini sudah tak bisa
disembuhkan lagi. Aku mau titip anak-anak padamu, Fat. Kalau aku meninggal
nanti, aku mohon kamu mau menikah dengan mas Narto dan jadi ibu mereka, menggantikan
aku,” tutur Yu Dijah.
Aku
terperangah mendengar permintaan Yu Dijah. “Yu, jangan ngomong seperti itu
dulu. Insyaallah penyakit Yu Dijah bisa sembuh. Jangan putus asa, Yu,” ujarku
tanpa bisa menahan bulir air mata. Hatiku seperti teriris mendengar ucapan
kakakku satu-satunya itu.
Yu
Dijah menggeleng. Tangannya yang kurus kering itu menggenggam tanganku erat.
Matanya memandangku lekat-lekat. Memohon dengan sangat. Ah…aku tak kuasa
melihatnya. Aku tak bisa. Aku tak kuat. Tak ada kata yang terucap, hanya lirih
suara tangisku yang terdengar.
“Ini
permintaan terakhirku, Fat. Kasihanilah anak-anakku, Fat. Mereka itu
ponakan-ponakanmu juga. Jika kau mau,
aku doakan kebahagiaan selalu mengiringi hidupmu hingga tua nanti karena mau
mengasuh dan menyayangi anak-anak piatu ini, Fat,” tutur Yu Dijah lagi.
Kupeluk
tubuh ringkih kakakku itu dengan erat. Ya Rabb…aku tak mau kehilangan dia. Kumohon
beri kesembuhan untuknya, doaku pilu. Kamipun larut dalam tangis. Sungguh,
permintaannya bukan suatu yang mudah untuk kupenuhi. Tapi sungguh, tak ada kata
yang bisa terucap. Kelu rasanya lidahku. Hanya diamku dan airmataku yang
menjadi sebuah jawab saat itu.
**&&&**
Angin
berhembus semilir memainkan gorden
jendela kamar. Suara jangkrik dan kodok saling bersahutan melagukan sebuah
melody malam di persawahan. Langit gelap penuh gemintang. Bulan purnama memantulkan sinarnya di atas air
kolam. Lembar-lembar soal ulangan umum berserak di atas meja. Ada puluhan
lembar yang harus aku koreksi. Namun tak sedikitpun tanganku tergerak untuk
menyentuhnya. Pikiranku melayang pada kejadian tadi siang. Pada permintaan Yu
Dijah.
Ah…hatiku
resah, bingung, bimbang, semua campur jadi satu. Apa yang harus aku kulakukan?
Haruskah aku memenuhi permintaan kakakku ini? Yang mungkin saja menjadi
permintaan terakhir? Lalu apa yang harus aku katakan pada Mas Budi? Lelaki yang
dekat denganku akhir-akhir ini? Dia berniat untuk serius padaku meskipun belum
ada lamaran yang datang darinya. Mas Budi seorang jejaka mapan, PNS sebuah
departemen di kotaku, dari keluarga baik-baik, tampan dan cerdas pula. Haruskah
aku mengorbankan Mas Budi yang begitu sempurna dimataku lalu menikah dengan Mas
Narto, kakak iparku, yang bila kakakku meninggal dia berstatus sebagai duda
beranak empat?
Kalau
aku tak memenuhi permintaan kakakku, bagaimana nasib keempat ponakanku? Kalau
Mas Narto bisa mencarikan ibu yang baik buat mereka, tidak ada masalah. Tapi
jika dengan kehadiran ibu tiri mereka nantinya akan sengsara, bukankah aku juga
akan menanggung rasa bersalah seumur hidupku? Membiarkan ponakan-ponakanku di
tangan ibu tiri yang kejam? Ah, tidak!!! Aku tak bisa. Apalagi jika melihat si
kecil, Akhtar, yang begitu dekat denganku. Bahkan menganggap aku seperti ibunya
sendiri. Ah, anak sepolos itu. Tak tega rasanya menjadikannya korban
keegoisanku. Tapi untuk menikah dengan Mas Narto pun bukan keputusan yang mudah
bagiku…Ah, aku benar-benar bingung. Memikirkannya membuat kepalaku pusing.
Suara
derit pintu kamar membuatku tersadar dari lamunan. Ibu sudah berada di depan
pintu. Wanita sepuh berumur enampuluh tahun itu tersenyum padaku. Garis-garis
kecantikannya masih terlihat jelas diantara kerut-kerut kulit wajahnya. Wajah
yang penuh cinta dan kesabaran.
“Kowe
sik nggarap raport to, Nduk?” tanya ibu seraya menghampiriku.
Aku
hanya mengangguk lalu tertunduk lesu menekuri kertas-kertas yang berserakan di
atas meja kayu tuaku.
“Mikir
opo, to, Nduk?” tanya ibu seraya membelai rambutku.
“Yu
Dijah, Buk’e. Apa Buk’e sudah tahu?” tanyaku.
Ibu
tak segera menjawab. Ia mengambil duduk di sisi ranjangku. “Yo, Buk’e wes
ngerti penjaluke Mbakyumu kae.”
“Trus
menurut Buk’e, Fat harus bagaimana? Fat bingung…” tanpa terasa airmataku
mengembun di sudut mata.
“Buk’e
ngerti perasaanmu, Fat. Tapi kalau sampai Mbakyumu meninggal, sebaiknya
menikahlah dengan Narto. Demi Mbakyumu, demi keponakan-keponakanmu,” tutur
wanita termulia itu.
“Tapi
bagaimana dengan Mas Budi, Buk’e? Fat ndak bisa meninggalkan Mas Budi begitu
saja. Fat sangat menginginkan Mas Budi jadi suami Fat. Begitupun Mas Budi. Kami
sudah saling sepakat soal itu, Buk’e,” jelasku.
Ibu
terdiam. Mata tuanya menatap lekat padaku. “Mintalah yang terbaik sama Allah,
Nduk. Ini soal pilihan hidup. Semua terserah kowe. Toh, Mbakyumu masih ada dan
Budi juga belum melamarmu,” tutur ibu sebelum beranjak meninggalkan aku
sendiri.
Aku
terhenyak mendengar kata-kata ibu. Tak berapa lama kemudian terdengar suara
adzan dari masjid. Waktu isya’ telah tiba. Segera kuayun langkah menuju kamar
mandi. Kuambil wudhu lalu kuhamparkan sajadah menghadap kiblat. Ya Rabb, beri
aku petunjukMu…Beri aku petunjukMu.
**&&&**
Pintu
ruang kelas diketuk perlahan saat aku tengah menerangkan peta buta pada
murid-muridku. Kupersilahkan si pengetuk pintu untuk masuk. Rupanya Pak Gofar.
Guru agama setengah baya itu masuk dengan langkah tergopoh-gopoh menghampiriku.
“Bu
Fat, saya harap bu Fat tabah, ya. Ini ada berita duka. Bu Khadijah, kakak bu
Fat meninggal dunia. Sekarang bu Fat ditunggu keluarga di rumah. Biar nanti bu
Halimah yang menggantikan bu Fat,” ujar Pak Gofar hati-hati sekali.
Aku
terperangah mendengar kabar ini. Bibirku hanya bisa berucap, “Innalillahi wa
innailaihirojiun.” Dalam hati ada rasa tak percaya. Mana mungkin Yu Dijah
meninggal secepat ini? Bukankah tadi pagi dia makan banyak sekali dan kata
dokter kondisinya mulai berangsur pulih.
“Apa
bu Fat baik-baik saja? Apa perlu saya antar?” tanya Pak Gofar sedikit kuatir
melihat mimik wajahku.
“Tidak
usah, Pak. Maturnuwun sanget. Saya bisa pulang sendiri,” ujarku.
Tanpa
banyak kata lagi, segera kukemasi tas dan bukuku. Kaki-kakiku berlari ke arah
parkir sepeda dan kupacu onta tuaku melewati jalanan berbatu sejauh tiga
kilometer untuk pulang ke rumah. Yu, kenapa kau tak menungguku? Ya Rabb, desis
hatiku. Tanpa terasa airmataku jatuh lagi membasahi jilbab putihku yang mulai
kusam terbakar mentari.
Sesampai
di rumah, kujumpai sudah banyak orang yang melayat. Suasana duka menyeruak
seketika. Kuhempaskan begitu saja onta tuaku ke atas tanah. Setengah berlari
aku masuk ke ruang tamu. Disana sudah terbujur Yu Dijah. Diam, tak bergeming.
Terbungkus kain kafan. Aku berjalan seolah tanpa nyawa mendekati jasad kakakku
yang sudah terbujur kaku itu.
“Yu,
bangun, Yu…Kenapa kau tak menungguku, Yu?” isakku di sisi jenazahnya.
Tiba-tiba
seseorang memegang bahuku dari belakang. “Fat, menangis boleh, tapi jangan
meratap, yo, Nduk. Ndak baik kata Rasulullah,” tutur Yu Karti, tetanggaku
dengan hati-hati. Aku masih tak bisa menghentikan tangisku.
“Bulik…bulik…hiks..hiks…hiks!!!”
sebuah rengekan kecil yang kukenal betul suaranya. Aku menoleh ke belakang. Ah,
si kecilku sayang. Akhtar yang malang. Ia menjulurkan tangan-tangan kecilnya,
ingin memelukku. Kusambut tangannya dan kudekap erat tubuh kecilnya dalam
pelukku. Oh, Tuhan…anak sekecil ini harus kehilangan seorang ibu. Bagaimana
mungkin aku tega melepaskan si kecil kesayanganku ini?
Sementara
tak jauh dari tempatku duduk, Kinasih, Siti dan Sigit tampak tenggelam dalam
pelukan ayah mereka. Kinasih memandangku dengan mata sembab. Lalu memandang
kearah ibunya. Tiba-tiba dia menghampiriku. “Bulik, aku sudah nggak punya
ibu….,” ujarnya seraya memelukku.
“Jangan
sedih, yo, Sih. Kamu masih punya Bulik, punya Eyang Putri, punya Bapak, punya
saudara-saudaramu ini. Jangan sedih, ya,” hiburku pada si sulung ini dengan
suara lirih.
Kinasih
mengangguk sedih. Aku merasa ada yang ingin dia katakan. Tapi dia tak bisa
mengungkapkannya. Ah, aku mengerti. Sangat mengerti.
**&&&**
Lelaki
di depanku ini terlihat gelisah. Berkali-kali dia mengusap dagunya yang
ditumbuhi jenggot tipis dengan ujung ibujari dan telunjuknya. Sebuah kebiasaan
yang kuhafal bila dia sedang memikirkan sesuatu. Sementara aku tertunduk diam
tak berani menatap wajahnya. Aku pun resah, tapi aku tak punya jalan lain
selain berterusterang padanya tentang apa yang kualami. Berat untuk kukatakan,
tapi harus aku jelaskan semuanya.
“Lalu
bagaimana dengan hubungan kita, Fat?” akhirnya terlontar juga pertanyaan dari
mulut mas Budi menyibak keheningan yang meraja selama beberapa saat.
“Saya
belum bisa memutuskan apapun, mas. Saya bingung…” jawabku masih dengan mata
yang tertunduk hampa menekuri dinginnya lantai.
Angin
sepoi berhembus dari arah taman yang terletak
di samping beranda tempat kami duduk. Membawa aroma mawar-mawar merah
yang sedang merekah kelopaknya. Beberapa kumbang dan kupu-kupu tampak mengitari
bunga-bunga cantik itu. Berlomba menghisap madu. Burung-burung srigunting
tampak melayang-layang di birunya langit sore. Menghantar mentari di penghujung
hari ke peraduannya dengan tarian kepak sayap mungilnya.
“Aku
akan menunggumu memutuskannya, Fat. Tapi kalau bisa jangan terlalu lama. Segera
beritahu aku begitu kau memutuskannya,” tegas mas Budi. “Kalau begitu aku pamit
dulu. Salamku pada ibu.” Mas Budi beranjak dari tempat duduknya menuju vespa
biru langitnya yang terparkir di halaman rumah.
“Kok
terburu-buru, mas. Masih dibikinkan minum sama ibu,” cegahku seraya mengiringi
langkahnya dari belakang.
“Terima
kasih. Aku masih ada janji dengan teman di bengkel,” ujarnya memberi alasan.
“Mas…..,”
entah kenapa tenggorokanku seperti tercekat.
“Ya?”
lelaki itu berbalik dan bertanya.
Aku
menggeleng. “Tidak ada. Hati-hati di jalan,” akhirnya kalimat itu yang keluar
dari mulutku. Uff!!! Sekuat hati aku
menahan degub jantung yang semakin tak beraturan dalam dadaku.
Mas
Budi tersenyum. Matanya yang agak sipit
dan berkacamata membentuk lengkung yang khas di wajahnya. Ah, wajah teduh itu
membuatku tak bisa berkata-kata. Aku tak bisa memberi harapan lebih padanya.
Ada hal lain yang juga penting untuk dipertimbangkan. Ya, masa depan anak-anak
Yu Dijah. Bila teringat permintaan Yu Dijah waktu itu….
“Aku
pulang dulu, Fat. Assalamualaikum,” pamit mas Budi menyadarkan aku dari
lamunan.
Deru
roda-roda vespa terdengar bergerak menuju jalanan desa yang berbatu. Kutatap punggung lelaki itu hingga menghilang
di balik tikungan. Aku tahu dia resah, aku pun sama. Yang kulakukan hanyalah
berusaha sebaik mungkin agar Allah SWT berkenan memberi jodoh yang terbaik menurutNya.
**&&&**
“Fat,
jangan terlalu terbebani dengan permintaan istriku. Tidak ada yang memaksamu
untuk melakukannya. Aku dan anak-anak sudah sangat berterimakasih karena selama
ini kamu sudah banyak membantu merawat Mbakyumu. Aku masih bisa dan mampu
merawat mereka sendirian, kok. Jangan kuatir,” ujar Mas Narto usai selamatan
empat puluh hari Yu Dijah.
Aku
hanya diam seraya mengelus kepala Akhtar yang tertidur lelap di pelukanku.
Tangan-tangan kecilnya terkulai di sisi pinggangku pertanda si kecil ini sudah
terbuai di alam mimpi indahnya. Wajah mungil yang sedang terlelap itu
menawarkan kedamaian tanpa batas.
“Yu
Dijah yang meminta saya, Mas. Dan sampai Yu Dijah tiada, saya belum memutuskan
apapun. Ini memang berat buat saya, Mas. Entah kenapa Gusti Allah memberi saya
ujian berupa pilihan seperti ini. Yang saya inginkan, apapun keputusan saya
nanti, insyaallah bermanfaat buat semua dan saya ikhlas menjalani. Itu saja,”
jawabku akhirnya.
“Aku
hanya ndak mau jadi penghalang hubunganmu dengan Budi, Fat. Kalau aku pribadi
memang menginginkan ada pengganti ibu untuk anak-anakku. Tapi ndak harus kamu,
Fat. Kalaupun kamu mau memenuhi permintaan Mbakyumu, ya, silahkan. Itu akan
lebih baik untuk anak-anak. Terutama si Tole. Dia kelihatan tambah lengket
denganmu setelah ibunya tiada. Tapi sekali lagi, pikirkan baik-baik sebelum
memutuskannya,” tutur kakak iparku itu.
“Iya,
Mas,”Aku mengangguk lalu menggendong si
kecil ke kamar tidurnya. Seperti biasa aku mendaratkan sebuah ciuman pada
pipinya yang lembut seperti sutra. “Selamat tidur, sayang. Mimpi yang indah,
ya, nak,” bisikku seraya menyelimuti tubuhnya dengan selimut.
“Bulik…”
tiba-tiba terdengar suara serak di sebelah Akhtar. Oh, Siti terbangun rupanya.
“Ada
apa, Siti?” tanyaku.
Gadis
kelas enam SD itu nampak memandang lekat padaku. “Bulik tidur di sini, ya. Biar
ndak sepi.”
Aku
tersenyum. Aku paham betapa kesepiannya mereka tanpa ibu. “ Tapi Bulik harus
pulang ke rumah Eyang. Besok harus mengajar,” tolakku halus.
“Biar
kamu tidur di sini saja sama anak-anak, Fat. Aku tak tidur di ruang tamu bareng
sama Kang Nadjib. Nanti aku bilang ibu kalau kamu tidur di sini,” Suara Mas
Narto terdengar di balik pintu. Rupanya ia mendengar percakapanku dengan Siti.
Kupandang
Siti. Gadis itu mengangguk dan segera beringsut memberi tempat padaku. Ya,
sudahlah. Aku mengalah. Malam ini kuhabiskan malam bersama ponakan-ponakanku
tercinta.
**&&&***
Hari
ini hari Minggu. Kuputuskan untuk bersilaturahmi ke rumah Ustadzah Husna, guru
mengajiku sejak kecil yang sekarang sudah pindah ke desa sebelah. Tak lupa si
Akhtar kubawa serta. Dia tampak riang kubawa jalan-jalan. Apalagi setelah
sampai di rumah Ustadzah Husna, kami dibawa ke taman belakang rumah beliau yang
asri, lengkap dengan gazebo dan kolam ikan koinya. Bisa dibayangkan betapa
senangnya si kecil bermain dan melihat ikan-ikan yang indah itu. Apalagi ia
ditemani Ridwan, putra tunggal Ustadzah yang duduk di bangku smp kelas satu.
Langsung lupa sama Buliknya, hehehe…
“Subhanallah,
jadi Allah memberi pilihan itu sama Fat,
ya?”kata Ustadzah dengan senyum mengembang manis di bibirnya.
“Iya,
Ustadzah. Saya bingung sekali. Akhir-akhir ini istikharah dan tahajud saya
masih belum menampakkan hasil,” keluhku. “Di satu sisi saya berat kalau harus
memutuskan Mas Budi. Kami sudah sama-sama serius dan merencanakan untuk
menikah. Tapi kalau saya memilih Mas Budi, bagaimana nasib keponakan-keponakan
saya? Mas Narto memang tidak memaksa saya menikah dengannya, tapi kalau ingat
Yu Dijah, saya merasa berdosa kalau tidak memenuhi permintaan terakhirnya waktu
itu. Bagaimana, Ustadzah? Apa yang harus saya lakukan?”
“Satu
hal yang pasti, Nduk. Allah SWT menciptakan makhluknya berpasang-pasangan. Dan
jodoh itu mutlak di tanganNya. Tapi manusia harus terus berusaha
mendapatkannya. Yang penting sekarang niat untuk menikah haruslah untuk ibadah
pula. Karena menikah itu perjanjian yang berat dengan Allah SWT. Mitsaqan
Ghalidzan. Pertanggungjawabannya bukan hanya di dunia tapi juga di akhirat
kelak,” Ustadzah Husna memulai nasehatnya.
“Kalau
melihat masalahmu ini, memang rumit. Mana yang harus diutamakan. Keluarga
sendiri atau orang lain. Ini hanya saran, mungkin sebaiknya kita melihat apa
yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Rasulullah sangat mencintai anak yatim.
Dalam hadist riwayat Bukhori disebutkan
bahwa “Aku dan orang-orang yang mengasuh dan menyantuni anak yatim di Surga
seperti ini, kemudian beliau member isyarat dengan jari telunjuk dan jari
tengah seraya sedikit merenggangkannya”. Lalu ada sebuah hadist riwayat Muslim
yang menyebutkan bahwa “Sebaik-baiknya wanita adalah yang paling sayang
terhadap anak yatim yang masih kecil.” Apalagi ini masih keluarga sendiri,
keponakanmu sendiri. Ini justru ladang amal shalih yang sedang dipersiapkan
Allah SWT untukmu. Akan tetapi tetap saja kau yang memutuskannya sendiri. Ini
hidupmu, masa depanmu, Nduk. Pikirkan baik-baik sambil terus minta petunjukNya.
Insyaallah dalam waktu dekat kau akan diberi kemantapan hati,” tutur Ustadzah
berwajah teduh itu. Terasa dalam menyentuh hati.
“Bulik…Bulik…ikannya
besar-besar!!! Tadi sama Mas Ridwan ikannya dikasih makan,” seru Akhtar dengan
wajah riang. Kaki-kaki kecilnya berlari
ke arahku.
“Bocah
ganteng, ayo diminum dulu tehnya. Abis itu main lagi sama Mas Ridwan, ya,” kata
Ustadzah seraya menyodorkan segelas teh hangat pada Akhtar.
Akhtar
memandangku. “Bulek, mimik….”ujarnya manja. Tubuh kecilnya kupangku supaya bisa
minum dengan benar dan tidak tersedak.
“Pelan-pelan,”
bisikku melihatnya begitu bernafsu meminum teh.
“Aku
boleh minta itu?” tanyanya seusai minum. Telunjuknya menunjuk kue dadar gulung
yang terhidang di piring sedang.
“Ambil
saja. Bawa ke sana. Tuh, udah dipanggil Mas Ridwan,” kata Ustadzah Husna.
“Ayo,
dek, main sini sama Mas,” panggil Ridwan seraya melambaikan tangan. Secepat
kilat Akhtar berlari kearah Ridwan sembari membawa sebungkus dadar gulung di
tangannya.
“Sepertinya
Akhtar sangat dekat denganmu, Nduk. Kamu sudah seperti ibu baginya,” ujar
wanita paruh baya itu padaku.
Aku
tersenyum mendengarnya. “Iya, Ustadzah. Sejak ibunya sakit, dia selalu sama
saya. Kemana-mana saya bawa. Sering dikira anak saya,” sahutku.
“Semoga
ladang amal itu tak sampai jatuh ke tangan orang lain, Nduk. Ndak salah to
kalau gurumu ini berharap yang terbaik?”
“Doakan
saya, Ustadzah,” kupandang wajah Ustadzah Husna lekat-lekat.
“Insyaallah,
Nduk. Kamu gadis yang baik. Allah SWT pasti akan memberimu petunjukNya,”
ucapnya dengan seulas senyum penuh ketulusan yang manis terkembang.
**&&&**
Penjor-penjor
janur kuning sudah berdiri tegak dengan anggunnya di depan rumah. Gending jawa
mengalun merdu mengawali pagi yang cerah itu. Suara anak-anak ramai terdengar
di halaman rumah. Lincah berlarian ke sana kemari diantara bapak-bapak yang
sedang memasang tenda biru untuk hajatan nanti. Sementara kaum ibu tampak sibuk
mengolah hidangan di dapur, berkubang dengan kepulan asap dari tungku dan
kompor. Semua tampak ceria, semua bersuka cita.
Bu
Joyo, sang perias pengantin tampak sibuk mempersiapkan segala sesuatu. Dibantu
beberapa asistennya, ia menyulap kamarku yang sederhana menjadi meriah dan
penuh bunga. Sementara menunggu kamarku dipermak, aku memilih menyendiri di
mushalla, sebuah bilik kecil dalam rumah untuk shalat. Menyendiri ditemani
butiran tasbih.Tak bisa kutahan jatuhnya bulir bening dari mataku saat aku
teringat percakapanku dengan Mas Budi beberapa hari yang lalu.
“Maafkan
aku, Mas…”
Mas
Budi menghela napas panjang. “Jadi itu keputusanmu, Fat?”
Aku
tertunduk diam. Berusaha meredam gejolak hati yang campur aduk tak terkatakan.
“Apa
memang sudah tidak ada lagi kesempatan untuk berubah pikiran? Jika kau memang
berubah pikiran, besok aku akan minta keluargaku untuk datang melamarmu,” Mas
Budi masih bersikeras rupanya.
“Maaf…”
sekali lagi hanya kata itu yang bisa keluar dari mulutku.
“Baiklah.
Kalau memang itu keputusanmu, kudoakan kau berbahagia,” ucapnya getir. Gurat
kekecewaan begitu tampak di wajahnya.
“Terima
kasih, Mas, atas doanya. Saya berharap Mas Budi juga dapat yang lebih baik dari
saya,” kataku sedikit terbata menahan sesaknya rasa di dada. Ya Rabb, sungguh
ini bukan hal yang mudah bagiku. Tapi kumohon kuatkan azzamku, bisikku lirih
dari dalam hati.
“Nduk,
kamarmu sudah selesai. Ayo, siap-siap. Bu Joyo sudah menunggu,”suara ibu
tiba-tiba terdengar di belakangku. Butiran tasbih di tanganku berhenti bergerak
dan akupun segera melepas mukena dan melangkah menuju kamarku.
Tepat
jam sepuluh pagi Mas Narto mengucapkan ijab kabul dengan lancar tanpa kesalahan
sedikitpun. Resmilah aku menjadi ibu bagi anak-anak Yu Dijah. Sebuah tugas yang
berat menikah dengan duda empat anak sekaligus, tapi entah kenapa saat itu
hatiku terasa tenang dan lapang. Ya, aku ikhlas. Apalagi semua ini aku niatkan
untuk ibadah. Semoga Allah meridhoi, bisikku seusai Mas Narto mengucapkan ijab
kabulnya.
“Bulik…Bulik
cantik,” celoteh Akhtar. Matanya yang bulat menatapku dengan segala
kepolosannya.
“Oh
ya?” sahutku seraya kucium pipinya yang tembam.
“Jangan
panggil Bulik lagi, dek,” celetuk Kinasih.
“Lalu
panggil apa, Mbak?” tanya Sigit.
“Piye
nek dipanggil Mama Fat?” cetus Kinasih.
Adik-adiknya
mengangguk-angguk sambil berpikir.
“Aku
setuju. Panggil Mama ae, ya, Bulik…eh, Mama, hehehe,” ujar Siti sambil tertawa.
“Boleh,
panggil apa saja boleh. Bulik boleh, Mama juga boleh,” kataku sembari tersenyum
geli mendengar celoteh anak-anakku.
“Mama…Mama…Mama,”
Akhtar menyebutnya berkali-kali. Tangan kecilnya menyentuh wajahku. “Ini
mamaku.”
“Eh,
yo, Mamaku juga,” ujar Siti tidak mau kalah.
“Mamanya
semuanya wes,” Mas Narto menengahi dengan nada bercanda.
Kami semua tertawa bersama dalam kamar
pengantin. Subhanallah, rasa syukurku serasa berlipat ganda saat itu. Terima
kasih, ya, Rabb. Kau berikan anugerah terindahMu padaku untuk hari ini. Jadikan
aku sebagai ibu pengganti yang baik untuk anak-anak yatim yang Kau cintai ini. Semoga
menjadi berkah untuk saat ini dan kedepannya nanti. Amin..Amin…Amin.
**&&&**
Note : Ucapan terima kasih tak
terhingga untuk Ibu Sudarto, di Toli-Toli yang sudah menjadi inspirasi dari
cerita di atas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar