Minggu, 10 Juni 2012

My Short Story 1


Edelweiss Untuk Fatimah
                                                                                                                       
Kaki-kaki kecil  Akhtar berlari menyambut kedatanganku. Tak ada wajah ceria seperti biasanya. Matanya sembab seperti habis menangis. Belum sempat aku parkir sepeda onta tuaku, Akhtar sudah menghambur ke arahku. Tangan-tangan kecilnya mendekap erat tubuhku yang masih bau keringat. Aku tersenyum. Kuelus kepalanya seperti biasanya.
“Eh, ada apa ini? Kok, jagoane Bulik Fat nangis to? Katanya laki-laki ndak boleh cengeng?” hiburku. “Kamu diganggu Mas Sigit lagi?”
Kepalanya menggeleng. “Buk’e…Buk’e…” cuma itu yang keluar dari bibir mungilnya dan tangisnya pecah lagi.
“Buk’e kenapa?”
“Buk’e sakit lagi…hiks…hiks…hiks!!!”
“Yo wis, yo wis…cup cup cup, ndak boleh nangis. Ayo, kita masuk dulu,” ujarku seraya memarkir sepeda dan menggendong bocah empat tahun itu ke dalam rumah.
Rumah Yu Dijah terlihat lengang. Sepi tak ada orang. Kulangkahkan kaki menuju kamar kakak perempuanku itu. Disana kudapati  keponakan-keponakanku yang besar sedang menunggui ibunya yang sakit.  Kinasih, si sulung sedang menyuapi bubur ibunya. Siti dan Sigit, anak-anaknya yang lain sedang memijit-mijit kaki ibunya.
“Baru pulang, Fat? “ tanya Yu Dijah padaku. Wajahnya yang pucat dan kuyu mencoba tersenyum padaku. Badannya tampak kurus kering digerogoti kanker rahim yang bersarang di tubuhnya.
“Iya, Yu,” jawabku seraya menurunkan Akhtar dari gendonganku. “Sudah minum obat?”
“Tadi pagi sudah, bulik. Siangnya yang belum. Ini buburnya belum habis. Tadi Buk’e kesakitan lagi,” ujar Kinasih.
“Iya, barusan sebelum bulik datang, buk’e kesakitan lagi. Akhtar sampai takut dan nangis,” sahut Sigit.
“Bapakmu kemana?” tanyaku.
“Bapak tadi pulang sebentar, sekarang lagi nyusul  pak dokter Hasan. Sebentar lagi mungkin datang. Kita disuruh tunggu di sini,” kata Kinasih lagi. Gadis berumur lima belas tahun itu tampak telaten menyuapi ibunya.
“Sudah, Sih,” Yu Dijah menyorongkan piring dengan tangannya. Ia tak ingin makan lagi.
“Buk’e, dihabiskan dulu. Satu suap lagi ya. Nanti habis ini minum obat terus tidur,” bujuk anak sulungnya.
Yu Dijah menggeleng. “Wis!” tegasnya. Tak mau lagi. Kinasih pun mengalah lalu meminumkan obat pada ibunya. Setelah itu dia beranjak ke dapur untuk mencuci piring dan gelas yang kotor.
“Sigit, Siti, ajak main Akhtar ke luar ya, nak. Buk’e mau sama bulik Fat sebentar,” pinta Yu Dijah pada anak-anaknya yang lain.
Tanpa banyak bicara kedua anak itu turun dari ranjang ibunya dan menggendong adik mereka keluar kamar untuk bermain. Kini tinggal aku dan Yu Dijah berdua saja. Yu Dijah menyuruhku menutup pintu kamar.
“Ada apa, to, Yu? Kok sampai menutup pintu segala?” tanyaku.
“Aku mau ngomong sama kamu, Fat. Ini penting,” ujar  kakakku itu.” Sini…duduk sini.”
“Ada apa, Yu?” tanyaku setelah duduk di sisinya.
“Fat….,”
Yu Dijah terdiam sebentar. Matanya yang cekung dan menghitam seperti menerawang. Lalu menatapku dengan berkaca-kaca.
“Fat….aku merasa hidupku tidak lama lagi. Aku tahu penyakitku ini sudah tak bisa disembuhkan lagi. Aku mau titip anak-anak padamu, Fat. Kalau aku meninggal nanti, aku mohon kamu mau menikah dengan mas Narto dan jadi ibu mereka, menggantikan aku,” tutur Yu Dijah.
Aku terperangah mendengar permintaan Yu Dijah. “Yu, jangan ngomong seperti itu dulu. Insyaallah penyakit Yu Dijah bisa sembuh. Jangan putus asa, Yu,” ujarku tanpa bisa menahan bulir air mata. Hatiku seperti teriris mendengar ucapan kakakku satu-satunya itu.
Yu Dijah menggeleng. Tangannya yang kurus kering itu menggenggam tanganku erat. Matanya memandangku lekat-lekat. Memohon dengan sangat. Ah…aku tak kuasa melihatnya. Aku tak bisa. Aku tak kuat. Tak ada kata yang terucap, hanya lirih suara tangisku yang terdengar.
“Ini permintaan terakhirku, Fat. Kasihanilah anak-anakku, Fat. Mereka itu ponakan-ponakanmu  juga. Jika kau mau, aku doakan kebahagiaan selalu mengiringi hidupmu hingga tua nanti karena mau mengasuh dan menyayangi anak-anak piatu ini, Fat,” tutur Yu Dijah lagi.
Kupeluk tubuh ringkih kakakku itu dengan erat.  Ya Rabb…aku tak mau kehilangan dia. Kumohon beri kesembuhan untuknya, doaku pilu. Kamipun larut dalam tangis. Sungguh, permintaannya bukan suatu yang mudah untuk kupenuhi. Tapi sungguh, tak ada kata yang bisa terucap. Kelu rasanya lidahku. Hanya diamku dan airmataku yang menjadi sebuah jawab saat itu.
**&&&**
Angin berhembus semilir  memainkan gorden jendela kamar. Suara jangkrik dan kodok saling bersahutan melagukan sebuah melody malam di persawahan. Langit gelap penuh gemintang. Bulan  purnama memantulkan sinarnya di atas air kolam. Lembar-lembar soal ulangan umum berserak di atas meja. Ada puluhan lembar yang harus aku koreksi. Namun tak sedikitpun tanganku tergerak untuk menyentuhnya. Pikiranku melayang pada kejadian tadi siang. Pada permintaan Yu Dijah.
Ah…hatiku resah, bingung, bimbang, semua campur jadi satu. Apa yang harus aku kulakukan? Haruskah aku memenuhi permintaan kakakku ini? Yang mungkin saja menjadi permintaan terakhir? Lalu apa yang harus aku katakan pada Mas Budi? Lelaki yang dekat denganku akhir-akhir ini? Dia berniat untuk serius padaku meskipun belum ada lamaran yang datang darinya. Mas Budi seorang jejaka mapan, PNS sebuah departemen di kotaku, dari keluarga baik-baik, tampan dan cerdas pula. Haruskah aku mengorbankan Mas Budi yang begitu sempurna dimataku lalu menikah dengan Mas Narto, kakak iparku, yang bila kakakku meninggal dia berstatus sebagai duda beranak empat?
Kalau aku tak memenuhi permintaan kakakku, bagaimana nasib keempat ponakanku? Kalau Mas Narto bisa mencarikan ibu yang baik buat mereka, tidak ada masalah. Tapi jika dengan kehadiran ibu tiri mereka nantinya akan sengsara, bukankah aku juga akan menanggung rasa bersalah seumur hidupku? Membiarkan ponakan-ponakanku di tangan ibu tiri yang kejam? Ah, tidak!!! Aku tak bisa. Apalagi jika melihat si kecil, Akhtar, yang begitu dekat denganku. Bahkan menganggap aku seperti ibunya sendiri. Ah, anak sepolos itu. Tak tega rasanya menjadikannya korban keegoisanku. Tapi untuk menikah dengan Mas Narto pun bukan keputusan yang mudah bagiku…Ah, aku benar-benar bingung. Memikirkannya membuat kepalaku pusing.
Suara derit pintu kamar membuatku tersadar dari lamunan. Ibu sudah berada di depan pintu. Wanita sepuh berumur enampuluh tahun itu tersenyum padaku. Garis-garis kecantikannya masih terlihat jelas diantara kerut-kerut kulit wajahnya. Wajah yang penuh cinta dan kesabaran.
“Kowe sik nggarap raport to, Nduk?” tanya ibu seraya menghampiriku.
Aku hanya mengangguk lalu tertunduk lesu menekuri kertas-kertas yang berserakan di atas meja kayu tuaku.
“Mikir opo, to, Nduk?” tanya ibu seraya membelai rambutku.
“Yu Dijah, Buk’e. Apa Buk’e sudah tahu?” tanyaku.
Ibu tak segera menjawab. Ia mengambil duduk di sisi ranjangku. “Yo, Buk’e wes ngerti penjaluke Mbakyumu kae.”
“Trus menurut Buk’e, Fat harus bagaimana? Fat bingung…” tanpa terasa airmataku mengembun di sudut mata.
“Buk’e ngerti perasaanmu, Fat. Tapi kalau sampai Mbakyumu meninggal, sebaiknya menikahlah dengan Narto. Demi Mbakyumu, demi keponakan-keponakanmu,” tutur wanita termulia itu.
“Tapi bagaimana dengan Mas Budi, Buk’e? Fat ndak bisa meninggalkan Mas Budi begitu saja. Fat sangat menginginkan Mas Budi jadi suami Fat. Begitupun Mas Budi. Kami sudah saling sepakat soal itu, Buk’e,” jelasku.
Ibu terdiam. Mata tuanya menatap lekat padaku. “Mintalah yang terbaik sama Allah, Nduk. Ini soal pilihan hidup. Semua terserah kowe. Toh, Mbakyumu masih ada dan Budi juga belum melamarmu,” tutur ibu sebelum beranjak meninggalkan aku sendiri.
Aku terhenyak mendengar kata-kata ibu. Tak berapa lama kemudian terdengar suara adzan dari masjid. Waktu isya’ telah tiba. Segera kuayun langkah menuju kamar mandi. Kuambil wudhu lalu kuhamparkan sajadah menghadap kiblat. Ya Rabb, beri aku petunjukMu…Beri aku petunjukMu.
**&&&**
Pintu ruang kelas diketuk perlahan saat aku tengah menerangkan peta buta pada murid-muridku. Kupersilahkan si pengetuk pintu untuk masuk. Rupanya Pak Gofar. Guru agama setengah baya itu masuk dengan langkah tergopoh-gopoh menghampiriku.
“Bu Fat, saya harap bu Fat tabah, ya. Ini ada berita duka. Bu Khadijah, kakak bu Fat meninggal dunia. Sekarang bu Fat ditunggu keluarga di rumah. Biar nanti bu Halimah yang menggantikan bu Fat,” ujar Pak Gofar hati-hati sekali.
Aku terperangah mendengar kabar ini. Bibirku hanya bisa berucap, “Innalillahi wa innailaihirojiun.” Dalam hati ada rasa tak percaya. Mana mungkin Yu Dijah meninggal secepat ini? Bukankah tadi pagi dia makan banyak sekali dan kata dokter kondisinya mulai berangsur pulih.
“Apa bu Fat baik-baik saja? Apa perlu saya antar?” tanya Pak Gofar sedikit kuatir melihat mimik wajahku.
“Tidak usah, Pak. Maturnuwun sanget. Saya bisa pulang sendiri,” ujarku.
Tanpa banyak kata lagi, segera kukemasi tas dan bukuku. Kaki-kakiku berlari ke arah parkir sepeda dan kupacu onta tuaku melewati jalanan berbatu sejauh tiga kilometer untuk pulang ke rumah. Yu, kenapa kau tak menungguku? Ya Rabb, desis hatiku. Tanpa terasa airmataku jatuh lagi membasahi jilbab putihku yang mulai kusam terbakar mentari.
Sesampai di rumah, kujumpai sudah banyak orang yang melayat. Suasana duka menyeruak seketika. Kuhempaskan begitu saja onta tuaku ke atas tanah. Setengah berlari aku masuk ke ruang tamu. Disana sudah terbujur Yu Dijah. Diam, tak bergeming. Terbungkus kain kafan. Aku berjalan seolah tanpa nyawa mendekati jasad kakakku yang sudah terbujur kaku itu.
“Yu, bangun, Yu…Kenapa kau tak menungguku, Yu?” isakku di sisi jenazahnya.
Tiba-tiba seseorang memegang bahuku dari belakang. “Fat, menangis boleh, tapi jangan meratap, yo, Nduk. Ndak baik kata Rasulullah,” tutur Yu Karti, tetanggaku dengan hati-hati. Aku masih tak bisa menghentikan tangisku.
“Bulik…bulik…hiks..hiks…hiks!!!” sebuah rengekan kecil yang kukenal betul suaranya. Aku menoleh ke belakang. Ah, si kecilku sayang. Akhtar yang malang. Ia menjulurkan tangan-tangan kecilnya, ingin memelukku. Kusambut tangannya dan kudekap erat tubuh kecilnya dalam pelukku. Oh, Tuhan…anak sekecil ini harus kehilangan seorang ibu. Bagaimana mungkin aku tega melepaskan si kecil kesayanganku ini?
Sementara tak jauh dari tempatku duduk, Kinasih, Siti dan Sigit tampak tenggelam dalam pelukan ayah mereka. Kinasih memandangku dengan mata sembab. Lalu memandang kearah ibunya. Tiba-tiba dia menghampiriku. “Bulik, aku sudah nggak punya ibu….,” ujarnya seraya memelukku.
“Jangan sedih, yo, Sih. Kamu masih punya Bulik, punya Eyang Putri, punya Bapak, punya saudara-saudaramu ini. Jangan sedih, ya,” hiburku pada si sulung ini dengan suara lirih.
Kinasih mengangguk sedih. Aku merasa ada yang ingin dia katakan. Tapi dia tak bisa mengungkapkannya. Ah, aku mengerti. Sangat mengerti.
**&&&**
Lelaki di depanku ini terlihat gelisah. Berkali-kali dia mengusap dagunya yang ditumbuhi jenggot tipis dengan ujung ibujari dan telunjuknya. Sebuah kebiasaan yang kuhafal bila dia sedang memikirkan sesuatu. Sementara aku tertunduk diam tak berani menatap wajahnya. Aku pun resah, tapi aku tak punya jalan lain selain berterusterang padanya tentang apa yang kualami. Berat untuk kukatakan, tapi harus aku jelaskan semuanya.
“Lalu bagaimana dengan hubungan kita, Fat?” akhirnya terlontar juga pertanyaan dari mulut mas Budi menyibak keheningan yang meraja selama beberapa saat.
“Saya belum bisa memutuskan apapun, mas. Saya bingung…” jawabku masih dengan mata yang tertunduk hampa menekuri dinginnya lantai.
Angin sepoi berhembus dari arah taman yang terletak  di samping beranda tempat kami duduk. Membawa aroma mawar-mawar merah yang sedang merekah kelopaknya. Beberapa kumbang dan kupu-kupu tampak mengitari bunga-bunga cantik itu. Berlomba menghisap madu. Burung-burung srigunting tampak melayang-layang di birunya langit sore. Menghantar mentari di penghujung hari ke peraduannya dengan tarian kepak sayap mungilnya.
“Aku akan menunggumu memutuskannya, Fat. Tapi kalau bisa jangan terlalu lama. Segera beritahu aku begitu kau memutuskannya,” tegas mas Budi. “Kalau begitu aku pamit dulu. Salamku pada ibu.” Mas Budi beranjak dari tempat duduknya menuju vespa biru langitnya yang terparkir di halaman rumah.
“Kok terburu-buru, mas. Masih dibikinkan minum sama ibu,” cegahku seraya mengiringi langkahnya dari belakang.
“Terima kasih. Aku masih ada janji dengan teman di bengkel,” ujarnya memberi alasan.
“Mas…..,” entah kenapa tenggorokanku seperti tercekat.
“Ya?” lelaki itu berbalik dan bertanya.
Aku menggeleng. “Tidak ada. Hati-hati di jalan,” akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulutku. Uff!!! Sekuat hati aku  menahan degub jantung yang semakin tak beraturan dalam dadaku.
Mas Budi tersenyum.  Matanya yang agak sipit dan berkacamata membentuk lengkung yang khas di wajahnya. Ah, wajah teduh itu membuatku tak bisa berkata-kata. Aku tak bisa memberi harapan lebih padanya. Ada hal lain yang juga penting untuk dipertimbangkan. Ya, masa depan anak-anak Yu Dijah. Bila teringat permintaan Yu Dijah waktu itu….
“Aku pulang dulu, Fat. Assalamualaikum,” pamit mas Budi menyadarkan aku dari lamunan.
Deru roda-roda vespa terdengar bergerak menuju jalanan desa yang berbatu.  Kutatap punggung lelaki itu hingga menghilang di balik tikungan. Aku tahu dia resah, aku pun sama. Yang kulakukan hanyalah berusaha sebaik mungkin agar Allah SWT berkenan memberi  jodoh yang terbaik menurutNya.
**&&&**
“Fat, jangan terlalu terbebani dengan permintaan istriku. Tidak ada yang memaksamu untuk melakukannya. Aku dan anak-anak sudah sangat berterimakasih karena selama ini kamu sudah banyak membantu merawat Mbakyumu. Aku masih bisa dan mampu merawat mereka sendirian, kok. Jangan kuatir,” ujar Mas Narto usai selamatan empat puluh hari Yu Dijah.
Aku hanya diam seraya mengelus kepala Akhtar yang tertidur lelap di pelukanku. Tangan-tangan kecilnya terkulai di sisi pinggangku pertanda si kecil ini sudah terbuai di alam mimpi indahnya. Wajah mungil yang sedang terlelap itu menawarkan kedamaian tanpa batas.
“Yu Dijah yang meminta saya, Mas. Dan sampai Yu Dijah tiada, saya belum memutuskan apapun. Ini memang berat buat saya, Mas. Entah kenapa Gusti Allah memberi saya ujian berupa pilihan seperti ini. Yang saya inginkan, apapun keputusan saya nanti, insyaallah bermanfaat buat semua dan saya ikhlas menjalani. Itu saja,” jawabku akhirnya.
“Aku hanya ndak mau jadi penghalang hubunganmu dengan Budi, Fat. Kalau aku pribadi memang menginginkan ada pengganti ibu untuk anak-anakku. Tapi ndak harus kamu, Fat. Kalaupun kamu mau memenuhi permintaan Mbakyumu, ya, silahkan. Itu akan lebih baik untuk anak-anak. Terutama si Tole. Dia kelihatan tambah lengket denganmu setelah ibunya tiada. Tapi sekali lagi, pikirkan baik-baik sebelum memutuskannya,” tutur kakak iparku itu.
“Iya, Mas,”Aku  mengangguk lalu menggendong si kecil ke kamar tidurnya. Seperti biasa aku mendaratkan sebuah ciuman pada pipinya yang lembut seperti sutra. “Selamat tidur, sayang. Mimpi yang indah, ya, nak,” bisikku seraya menyelimuti tubuhnya dengan selimut.
“Bulik…” tiba-tiba terdengar suara serak di sebelah Akhtar. Oh, Siti terbangun rupanya.
“Ada apa, Siti?” tanyaku.
Gadis kelas enam SD itu nampak memandang lekat padaku. “Bulik tidur di sini, ya. Biar ndak sepi.”
Aku tersenyum. Aku paham betapa kesepiannya mereka tanpa ibu. “ Tapi Bulik harus pulang ke rumah Eyang. Besok harus mengajar,” tolakku halus.
“Biar kamu tidur di sini saja sama anak-anak, Fat. Aku tak tidur di ruang tamu bareng sama Kang Nadjib. Nanti aku bilang ibu kalau kamu tidur di sini,” Suara Mas Narto terdengar di balik pintu. Rupanya ia mendengar percakapanku dengan Siti.
Kupandang Siti. Gadis itu mengangguk dan segera beringsut memberi tempat padaku. Ya, sudahlah. Aku mengalah. Malam ini kuhabiskan malam bersama ponakan-ponakanku tercinta.
**&&&***
Hari ini hari Minggu. Kuputuskan untuk bersilaturahmi ke rumah Ustadzah Husna, guru mengajiku sejak kecil yang sekarang sudah pindah ke desa sebelah. Tak lupa si Akhtar kubawa serta. Dia tampak riang kubawa jalan-jalan. Apalagi setelah sampai di rumah Ustadzah Husna, kami dibawa ke taman belakang rumah beliau yang asri, lengkap dengan gazebo dan kolam ikan koinya. Bisa dibayangkan betapa senangnya si kecil bermain dan melihat ikan-ikan yang indah itu. Apalagi ia ditemani Ridwan, putra tunggal Ustadzah yang duduk di bangku smp kelas satu. Langsung lupa sama Buliknya, hehehe…
“Subhanallah, jadi Allah memberi  pilihan itu sama Fat, ya?”kata Ustadzah dengan senyum mengembang manis di bibirnya.
“Iya, Ustadzah. Saya bingung sekali. Akhir-akhir ini istikharah dan tahajud saya masih belum menampakkan hasil,” keluhku. “Di satu sisi saya berat kalau harus memutuskan Mas Budi. Kami sudah sama-sama serius dan merencanakan untuk menikah. Tapi kalau saya memilih Mas Budi, bagaimana nasib keponakan-keponakan saya? Mas Narto memang tidak memaksa saya menikah dengannya, tapi kalau ingat Yu Dijah, saya merasa berdosa kalau tidak memenuhi permintaan terakhirnya waktu itu. Bagaimana, Ustadzah? Apa yang harus saya lakukan?”
“Satu hal yang pasti, Nduk. Allah SWT menciptakan makhluknya berpasang-pasangan. Dan jodoh itu mutlak di tanganNya. Tapi manusia harus terus berusaha mendapatkannya. Yang penting sekarang niat untuk menikah haruslah untuk ibadah pula. Karena menikah itu perjanjian yang berat dengan Allah SWT. Mitsaqan Ghalidzan. Pertanggungjawabannya bukan hanya di dunia tapi juga di akhirat kelak,” Ustadzah Husna memulai nasehatnya.
“Kalau melihat masalahmu ini, memang rumit. Mana yang harus diutamakan. Keluarga sendiri atau orang lain. Ini hanya saran, mungkin sebaiknya kita melihat apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Rasulullah sangat mencintai anak yatim. Dalam hadist riwayat Bukhori  disebutkan bahwa “Aku dan orang-orang yang mengasuh dan menyantuni anak yatim di Surga seperti ini, kemudian beliau member isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah seraya sedikit merenggangkannya”. Lalu ada sebuah hadist riwayat Muslim yang menyebutkan bahwa “Sebaik-baiknya wanita adalah yang paling sayang terhadap anak yatim yang masih kecil.” Apalagi ini masih keluarga sendiri, keponakanmu sendiri. Ini justru ladang amal shalih yang sedang dipersiapkan Allah SWT untukmu. Akan tetapi tetap saja kau yang memutuskannya sendiri. Ini hidupmu, masa depanmu, Nduk. Pikirkan baik-baik sambil terus minta petunjukNya. Insyaallah dalam waktu dekat kau akan diberi kemantapan hati,” tutur Ustadzah berwajah teduh itu. Terasa dalam menyentuh hati.
“Bulik…Bulik…ikannya besar-besar!!! Tadi sama Mas Ridwan ikannya dikasih makan,” seru Akhtar dengan wajah riang. Kaki-kaki  kecilnya berlari ke arahku.
“Bocah ganteng, ayo diminum dulu tehnya. Abis itu main lagi sama Mas Ridwan, ya,” kata Ustadzah seraya menyodorkan segelas teh hangat pada Akhtar.
Akhtar memandangku. “Bulek, mimik….”ujarnya manja. Tubuh kecilnya kupangku supaya bisa minum dengan benar dan tidak tersedak.
“Pelan-pelan,” bisikku melihatnya begitu bernafsu meminum teh.
“Aku boleh minta itu?” tanyanya seusai minum. Telunjuknya menunjuk kue dadar gulung yang terhidang di piring sedang.
“Ambil saja. Bawa ke sana. Tuh, udah dipanggil Mas Ridwan,” kata Ustadzah Husna.
“Ayo, dek, main sini sama Mas,” panggil Ridwan seraya melambaikan tangan. Secepat kilat Akhtar berlari kearah Ridwan sembari membawa sebungkus dadar gulung di tangannya.
“Sepertinya Akhtar sangat dekat denganmu, Nduk. Kamu sudah seperti ibu baginya,” ujar wanita paruh baya itu padaku.
Aku tersenyum mendengarnya. “Iya, Ustadzah. Sejak ibunya sakit, dia selalu sama saya. Kemana-mana saya bawa. Sering dikira anak saya,” sahutku.
“Semoga ladang amal itu tak sampai jatuh ke tangan orang lain, Nduk. Ndak salah to kalau gurumu ini berharap yang terbaik?”
“Doakan saya, Ustadzah,” kupandang wajah Ustadzah Husna lekat-lekat.
“Insyaallah, Nduk. Kamu gadis yang baik. Allah SWT pasti akan memberimu petunjukNya,” ucapnya dengan seulas senyum penuh ketulusan yang manis terkembang.
**&&&**
Penjor-penjor janur kuning sudah berdiri tegak dengan anggunnya di depan rumah. Gending jawa mengalun merdu mengawali pagi yang cerah itu. Suara anak-anak ramai terdengar di halaman rumah. Lincah berlarian ke sana kemari diantara bapak-bapak yang sedang memasang tenda biru untuk hajatan nanti. Sementara kaum ibu tampak sibuk mengolah hidangan di dapur, berkubang dengan kepulan asap dari tungku dan kompor. Semua tampak ceria, semua bersuka cita.
Bu Joyo, sang perias pengantin tampak sibuk mempersiapkan segala sesuatu. Dibantu beberapa asistennya, ia menyulap kamarku yang sederhana menjadi meriah dan penuh bunga. Sementara menunggu kamarku dipermak, aku memilih menyendiri di mushalla, sebuah bilik kecil dalam rumah untuk shalat. Menyendiri ditemani butiran tasbih.Tak bisa kutahan jatuhnya bulir bening dari mataku saat aku teringat percakapanku dengan Mas Budi beberapa hari yang lalu.
“Maafkan aku, Mas…”
Mas Budi menghela napas panjang. “Jadi itu keputusanmu, Fat?”
Aku tertunduk diam. Berusaha meredam gejolak hati yang campur aduk tak terkatakan.
“Apa memang sudah tidak ada lagi kesempatan untuk berubah pikiran? Jika kau memang berubah pikiran, besok aku akan minta keluargaku untuk datang melamarmu,” Mas Budi masih bersikeras rupanya.
“Maaf…” sekali lagi hanya kata itu yang bisa keluar dari mulutku.
“Baiklah. Kalau memang itu keputusanmu, kudoakan kau berbahagia,” ucapnya getir. Gurat kekecewaan begitu tampak di wajahnya.
“Terima kasih, Mas, atas doanya. Saya berharap Mas Budi juga dapat yang lebih baik dari saya,” kataku sedikit terbata menahan sesaknya rasa di dada. Ya Rabb, sungguh ini bukan hal yang mudah bagiku. Tapi kumohon kuatkan azzamku, bisikku lirih dari dalam hati.
“Nduk, kamarmu sudah selesai. Ayo, siap-siap. Bu Joyo sudah menunggu,”suara ibu tiba-tiba terdengar di belakangku. Butiran tasbih di tanganku berhenti bergerak dan akupun segera melepas mukena dan melangkah menuju kamarku.
Tepat jam sepuluh pagi Mas Narto mengucapkan ijab kabul dengan lancar tanpa kesalahan sedikitpun. Resmilah aku menjadi ibu bagi anak-anak Yu Dijah. Sebuah tugas yang berat menikah dengan duda empat anak sekaligus, tapi entah kenapa saat itu hatiku terasa tenang dan lapang. Ya, aku ikhlas. Apalagi semua ini aku niatkan untuk ibadah. Semoga Allah meridhoi, bisikku seusai Mas Narto mengucapkan ijab kabulnya.
“Bulik…Bulik cantik,” celoteh Akhtar. Matanya yang bulat menatapku dengan segala kepolosannya.
“Oh ya?” sahutku seraya kucium pipinya yang tembam.
“Jangan panggil Bulik lagi, dek,” celetuk Kinasih.       
“Lalu panggil apa, Mbak?” tanya Sigit.
“Piye nek dipanggil Mama Fat?” cetus Kinasih.
Adik-adiknya mengangguk-angguk sambil berpikir.
“Aku setuju. Panggil Mama ae, ya, Bulik…eh, Mama, hehehe,” ujar Siti sambil tertawa.
“Boleh, panggil apa saja boleh. Bulik boleh, Mama juga boleh,” kataku sembari tersenyum geli mendengar celoteh anak-anakku.
“Mama…Mama…Mama,” Akhtar menyebutnya berkali-kali. Tangan kecilnya menyentuh wajahku. “Ini mamaku.”
“Eh, yo, Mamaku juga,” ujar Siti tidak mau kalah.
“Mamanya semuanya wes,” Mas Narto menengahi dengan nada bercanda.
 Kami semua tertawa bersama dalam kamar pengantin. Subhanallah, rasa syukurku serasa berlipat ganda saat itu. Terima kasih, ya, Rabb. Kau berikan anugerah terindahMu padaku untuk hari ini. Jadikan aku sebagai ibu pengganti yang baik untuk anak-anak yatim yang Kau cintai ini. Semoga menjadi berkah untuk saat ini dan kedepannya nanti. Amin..Amin…Amin.
**&&&**
Note : Ucapan terima kasih tak terhingga untuk Ibu Sudarto, di Toli-Toli yang sudah menjadi inspirasi dari cerita di atas.
                                                                   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar