Kamis, 28 Juni 2012

Korsase jilbab cantiq*

Hai..Hai!!! Ketemu lagi sama daku dg karya baru pastinyaaaa :) Kebetulan tempo hari ada temen yg minta dibikinin korsase jilbab warna warni...And this is it!!! Cekodott...eh, cekidot yaaa...xixixixi...


Korsase tumpuk model 1 dg gradasi warna biru muda dan putih. Warnanya bisa polos ato 2 warna dipadu padan pun bisa....Tergantung permintaan pelanggan :)


Korsase model kedua, mawar tumpuk dg gradasi warna ato polos. Lagi-lagi tergantung permintaan pelanggan utk soal warnanya. Pilih warna matching dg jilbabnya ya, jgn sampe tabrak larim hehehe.... :)


Korsase model ketiga ini bentuknya bunga matahari bertumpuk. Warna bunga contoh adalah kuning muda dan hijau lumut. Bisa dikreasi dg warna2 lain yg sesuai dg busana dan jilbab anda :)


Taraaaa!!! Ini dia parade karya perdana Korsase Jilbab cantiqku....Kayak kebun bunga ya....hehehe, GR benerrr!!! Well, guys!, selamat menikmati yaaa... :D

Jumat, 22 Juni 2012

Toples2 cantiq jelang hari raya

Toples-toples ini pesenan dari Mbak Risqi di Berau, Kalimantan....Temanya : Chocolate and Blackforest cake....




Ni dia kreasi pertama ..... --gejala menelan ludah....gleks!!! Nyammm!!!...--




Kreasi yg kedua.... --tahan air liur anda,,,, hehehe--




Kreasi ketiga...--tahan tangan anda....oops!!! stop...!!! hehehe --




Kreasi keempat....--ambil tisu yaaa...awas ada yg meluncur di ujung bibir, ga tanggung lo yaaa...hehehe --




Nah! itu dia toples2 cantik koleksi terbaruku....Jangan sampe ngiler yaaa...hehehe...Berhubung bentar lagi hari raya, daku pajang dulu deh di ruang tamu. Dan...Wallaa!!! This is it!!! :D




Bertabur bunga mawar....pesta kebun dong jadinya, hehhee :) Selamat menikmati.... :D

Minggu, 17 Juni 2012

Parade Toples-toples cantiq ;)

Ini adalah beberapa koleksi terbaru dari Cherryblossom handicraft...cekidot yaaahh :)




Yang diatas ni buatan Miss Yani :)...Nah klo yg bawah ini buatan my students, anak2 Cherry Blossoms....cantik ya, ga kalah sama punya gurunya, hehehe ;)




Ini dia beberapa tampak dari dekat....close up, hehehe...



 Lalu yg ini....




Next....


En yg terakhir adalah....


Itulah akhir dari parade toples cantik hari ini....Bagi yg berminat boleh di order kok :)....Semoga harimu menyenangkan, teman :D

Jumat, 15 Juni 2012

Tempat tissue en toples kue cantiq

Ni dia kreasi toples kue cantikku....bentar lagi kan lebaran buuu.... :)



Berikutnya giliran si tempat tissue cantik yg mejeng nih.....nah! unyu-unyu khaannn... ;)


Sederhana dan bisa mempercantik rumah kita.... benar kan? :)

Pita-pita dan bando Flanel koe....

Terinspirasi dari warna-warni permen yg indah....ni dia hasilnyaaa...walllaaa!!! :)


Pita2 gede ala korea2 gitu...hehhee.... maniz khan? ;)


Next...Bando-bando cantikku untuk si kecil...Tarraaaa!!! :)


Dan ini bando-bando kreasi flanel dan bunga2 dari pita.... :)


Tampak samping....bando2nya baris dulu yaaa :)


Tu dia karya2 yg baru daku unggah di sini. Semoga suka yaaa...klo berminat pesan, monggo...ditunggu yaaa.... Makasih :D

Minggu, 10 Juni 2012

Tamasya ke Pantai Bentar... :D

Syik asyik pergi ke Bentar Beach sama Lia..... lalalala....lilili.... :D


Seperti biasa....bapose lagi laahhh.... Seru kaannn ? hehhee..... :D


Jalan-jalan ke dermaga...cincaaaaa....wohohoho!!! -- nunggu kapal buuukkk???? wekekeke :D--


Abis tu naik bebek,,,ehh,,,hlaa kok pas bebeknya lagi ngambek...akhirnya dayung ke tepi ditolong sama anak2 sd....memalukaaannnn!!! x__x' .... apes bener naik bebek malapetaka.....wekekeke....  ^__^V


Serunya liburan waktu itu sama Lia....kapan2 bisa diulang lagi nih yaaa....Tapi ga pake bebek malapetaka....hehehe :)

Snakey Words .....Go..Go..Go!!!

Ayooo...cepet-cepetan yaaahhh!!! Siapa yg paling banyak vocabs-nya, akan dapet poin loo!!! Go...go...go!!! 




Kira-kira siapa ya yg bakalan dapet poin hari ini? Hmmm.... :)

My Short Story 2


Haru No Ai


Rintik hujan membasahi bumi Fukuoka. Mengawali  musim dingin dengan paku-paku air yang turun dari langit. Membasahi pepohonan yang sudah menyulap warna daunnya secantik mungkin untuk menyambut musim gugur nan syahdu. Dedaunan momiji tampak terantuk-antuk terkena siraman titik-titik hujan. Ada banyak yang terserak di jalanan basah. Seolah melukis jalanan dengan paduan warna-warni dedaunannya yang indah. Merah, oranye, coklat, kuning dan hijau. Membuat suasana musim gugur yang dingin menjadi begitu romantis.
Setidaknya itulah yang dirasakan Akiko saat ini. Sore itu dia tengah duduk di dekat jendela kamarnya dengan wajah berbinar dan hati yang berdebar. Menanti seseorang yang beberapa hari ini telah menyentuh hatinya. Ya, seorang pemuda dari negeri asing yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Yang tak pernah ia lihat wajahnya. Ia hanya bisa mengenalnya melalui suara langkah kaki dan juga suaranya yang indah saat ia melantunkan sebuah nyanyian doa. Ya, sebuah nyanyian doa yang membuat tenteram hatinya. Meskipun ia tak tahu doa apa itu dan entah kenapa ia begitu terhanyut setiap mendengar pemuda itu melantunkannya.
Tak lama terdengar suara pagar terbuka. Suara langkah kaki dan suara bariton khas yang ramah mengucap salam pada pemilik rumah. Akiko terkesiap. “Dia sudah datang!” serunya dalam hati.
Seketika jemarinya meraba kusen jendela dan menutupnya. Lalu dengan sedikit tergopoh ia segera mengambil syalnya di sudut tempat tidur sebelum membuka jendela di sisi lainnya yang berhadapan langsung dengan jendela kamar pemuda itu. Hujan belum juga berhenti menurunkan rintiknya ke bumi. Angin dingin tak menyurutkan keinginannya untuk mendengarkan nyanyian doa nan merdu yang akan dia dengar sebentar lagi.
“Nah, itu dia. Dia sudah memulainya,” Akiko tersenyum setelah beberapa saat kemudian ia mendengar pemuda itu melantunkan doanya di sela suara rintik hujan. Gadis itu mendengarkan dengan seksama. Entah mengapa ia merasa dalam jiwanya seperti mengalir rasa tenang yang begitu hangat. Akiko tak tahu bacaan apa itu. Yang ia tahu adalah yang ia rasa, ia dengar dan ia suka.
“Akiko, sedang apa kau? Kenapa kau biarkan jendela kamarmu terbuka? Udara dingin di luar sana,” suara Tomomi tiba-tiba  terdengar dari arah pintu.
Spontan Akiko menoleh. Matanya yang indah menatap kakaknya dengan hampa. Bibirnya tersenyum,”ah, tidak ada. Hanya ingin menikmati hujan saja,” dalihnya.
Tomomi mendekati peraduan adiknya dan duduk di sebelah Akiko. “Jangan bohong padaku. Aku tahu kau sedang apa,” ujar Tomomi lagi.
Akiko tersenyum. “Apakah aku tak boleh mengagumi suaranya?”
“Kenapa kau menyukai lagu aneh itu?” Tomomi balik bertanya.
“Entahlah,” sahut Akiko seraya mengalihkan wajah ke arah jendela. “Tomomi, apakah dia berwajah tampan?”
“Ya, menurutku begitu. Tapi masih lebih tampan Ken-san, pacarku,” jawab Tomomi seraya tertawa. Akiko pun turut tertawa pelan.
“Dia teman Yamada-san dari Indonesia. Tadi siang Yamada-san mengenalkannya padaku. Namanya Affan-san. Kata Yamada-san, dia akan berlibur di sini selama dua minggu.”
“Indonesia? Jauhkah negeri itu dari sini?”
“Tidak, masih lebih jauh Amerika. Indonesia dekat saja. Hanya beberapa jam saja jika naik pesawat. Memangnya kenapa?”
“Ah, tidak apa-apa. Hanya ingin tahu saja.” Kembali Akiko merentang senyap menikmati alunan doa pemuda itu.
Tomomi pun segera beranjak dari kamar adiknya. Ia tahu jika sudah begitu, Akiko tak mau diganggu.
**&&&**
Pagi yang cerah.  Seperti  biasa  Akiko dengan tongkatnya berangkat menuju halte bis dekat rumahnya. Kali ini langkahnya agak tergesa. Ia bangun kesiangan dan sudah agak terlambat menuju sekolah tempatnya mengajar huruf braille. Benar saja. Tak lama ia mendengar suara deru roda bis sudah berputar di kejauhan sementara ia masih di seberang jalan.
“Oh, tidak!!! Aku tak boleh terlambat! Chotto matte! Chotto matte!!!” teriak Akiko. Karena tergesa mengejar bis, Akiko terpeleset dan jatuh.
“Kamu tidak apa-apa?” seseorang mendekatinya dan berusaha membantunya berdiri.
Akiko terkesiap. “Ah, suara itu...” ia bergumam dalam hati.
“Akiko-san! Kamu tidak apa-apa kan?” kali ini ia mendengar suara Yamada-san dengan nada penuh khawatir.
“Tidak, saya tidak apa-apa. Arigatou Gozaimashita,” ujarnya seraya berusaha berdiri sendiri.
“Yamada-san, bagaimana kalau kita antar saja Akiko-san?” pemuda itu berkata lagi.
“Eee...tidak usah. Terima kasih. Saya tidak mau merepotkan anda dan Yamada-san. Biar saya ikut bis berikutnya saja. Sudah, tidak apa-apa,” Akiko sedikit gugup menolaknya.
Yamada-san menengahi. “Sudahlah, Akiko-san. Aku antar kau ke tempat kerjamu. Tak usah sungkan begitu. Kita ini, kan, bertetangga. Nanti aku akan bilang Okasan. Tunggu di sini sebentar. Aku akan mengambil mobil dan memberi tahu ibumu,” kata Yamada-san sebelum beranjak pergi.
Tinggallah ia berdua dengan teman Yamada-san ini. Affan-san, ya, itu namanya. Akiko masih ingat betul kata Tomomi semalam.
“Apakah kamu benar-benar tidak apa-apa?” tanya pemuda itu lagi.
Akiko mengangguk seraya menundukkan kepala. Ia heran mendengar Affan-san bisa berbicara nihon go dengan sangat fasih. Padahal dia orang asing.
Watashi wa Affan desu. Dozo yoroshiku onegai shimasu,” pemuda itu memperkenalkan dirinya. Akiko merasakan hembusan udara di sekitarnya. Ya, pemuda itu ber-ojigi padanya.
Watashi wa Akiko desu. Dozo yoroshiku onegai shimasu,” jawab Akiko dengan ojigi yang sama. “Gomennasai, sudah merepotkan.”
Iie, doo itashimashite. Sama sekali tak merepotkan. Tak ada yang ingin terlambat dan ketinggalan bis saya rasa,” ujar Affan dengan nada bercanda untuk mencairkan suasana.
Akiko tersenyum. Entah kenapa ia merasa nyaman berada di dekat pemuda ini. Tak lama Yamada-san datang membawa mobilnya. Affan segera membukakan pintu belakang untuk Akiko lalu duduk di depan bersama Yamada.
“Apa kau benar-benar tak apa-apa, Akiko-san?” tanya Yamada-san saat melihat wajah Akiko meringis kesakitan sembari mengusap lututnya yang terbungkus rok panjang.
Akiko menggelengkan kepalanya. “Sudah tidak apa-apa, Yamada-san. Terima kasih atas bantuannya. Hanya sakit sedikit saja,” sahut gadis itu.
“Akiko-san kerjanya dimana?” tanya pemuda itu membuat Akiko sedikit terkesiap.
“Saya mengajar huruf braille di sekolah tunanetra, Affan-san,” jawab Akiko agak terbata karena gugup.
Anata wa Sensei desu ka?”
Hai! soo desu.”
“Akiko-san ini gadis yang sangat bersemangat, Affan-san. Kami bertetangga sudah lama. Dia sudah seperti adikku sendiri. Harumi, istriku, sangat menyayanginya. Maklum dia tak punya adik. Itulah kenapa ia menganggap Akiko seperti adiknya sendiri. Kalau aku sedang tugas ke Indonesia, Akiko sering menemani  istriku dirumah,”ujar Yamada-san seraya matanya tak lepas dari kaca kemudi.
Aa...soo desu ka?”Affan tersenyum menanggapinya.
“Dan sepertinya dia belum punya pacar,” Yamada-san berkata sambil tertawa.
Entah sudah seperti apa wajah Akiko saat itu.Ia tertunduk seraya  menyembunyikan wajahnya  yang memerah malu.
“Mungkin sudah  punya,Yamada-san.Hanya saja dia tak bilang padamu,”ujar pemuda itu.
“Aku memang belum punya koibito,Yamada-san,”ujarAkiko pelan. Ih,Yamada-san....!!! Ia tergemas-gemas sendiri tanpa bisa berbuat apa-apa.
Yamada-san tertawa pelan seraya mulai merapatkan mobilnya dipinggir jalan.Tempat kerja Akiko sudah dekat.Beberapa anak tampak masih berada di halaman sekolah bersama orangtua yang mengantar  mereka. Mereka sangat bersemangat bersekolah meskipun pagi diselimuti  mendung dan  hawa dingin.
Arigatou Gozaimashita,Yamada-san, Affan-san,”ucap Akiko seraya ber-ojigi.
“Sama-sama, Akiko-san. Hati-hati,ya,”pesanYamada-san dari balik pintu kemudi.
Ganbatte, Akiko-san!”suara  Affan  membuat senyum  manisnya terkembang.
Hai!”Akiko mengangguk. Ia melambaikan tangan saat mendengar suara deru mobil Yamada-san mulai menjauh dari tempatnya berdiri. Seperti ada sesuatu yang hangat menjalari hatinya.Ia merasa sangat bersemangat hari itu. Langkah kakinya terasa ringan bak terbang di awang-awang. Wajahnya penuh senyum seraya mengayunkan tongkatnya  memasuki gedung sekolah.
***&&&***
Akiko sudah berdiri di depan pintu dapur Yamada-san dengan  dada sedikit berdebar. Ditangannya ada sebuah nampan makanan buatan Okasan. Semangkuk besar kuri  gohan hangat yang  masih  mengepul, sepiring  sanma furai dan beberapa potong buah kesemek yang telah bersih dari kulitnya. Makanan ini khusus Okasan buatkan untuk Yamada-san sekeluarga sebagai ucapan terima kasih karena tadi sudah menolongnya.
Tangannya mengetuk daun pintu beberapa kali. Terdengar suara langkah kaki menghampiri. Akiko hapal. Itu suara langkah kaki Harumi. Wanita itu lalu menyibak tirai dapurnya dan membukakan pintu untuk Akiko.
“Akiko-chan...?” terdengar suara lembut menyapanya dengan ramah. Akiko-chan adalah panggilan sayang Harumi padanya.”Apa ini?”
Akiko tersenyum.”Okasan menyuruhku memberikan ini padamu,”ujarnya.
Aa...soo desu ka? Masuklah dulu. Diluar dingin,”kata Harumi seraya membimbing Akiko masuk dan menutup pintu dapur.
“Okasan mengucapkan terimakasih karena tadi pagi Yamada-san menolong dan mengantarkanku ketempat kerja.”
Harumi mengangguk tanda mengerti.”Seharusnya tak perlu serepot ini, Akiko-chan. Kita ini kan bertetangga.”
“Sebetulnya bukan aku yang menolongnya, tapi Affan-san,” tiba-tiba sebuah suara menyeletuk tiba-tiba. Yamada tiba-tiba sudah berdiri dibelakang istrinya.
Akiko tersenyum seraya menahan debar-debar halus yang merambati dadanya saat nama itu disebut.”Okasan sangat berterimakasih,Yamada-san.”
Doo itashimashite,” jawab Yamada.”Tunggu sebentar, aku akan panggil Affan-san.” Tak lama suara langkah kaki Yamada beradu dengan tangga kayu menuju ke lantai atas rumahnya.
“Eh, kenapa wajahmu memerah begitu, Akiko-chan? Wah,sepertinya ada yang jatuh cinta ini,” Harumi menggodanya seraya tertawa pelan.
Gadis itu hanya tersipu dibuatnya.
Tak lama Yamada turun bersama Affan. Mereka berdua segera menuju dapur. Saat mereka mendekat, aroma segarnya air dan parfum yang lembut yang berasal dari badan Affan  seketika merebak ke udara hingga sampai ke syaraf-syaraf pembau Akiko.
“Ayo, kita makan sama-sama sekarang. Kebetulan Affan-san baru selesai membaca Al Qurannya,”ajak lelaki berperawakan gemuk itu.
“Eee...tidak usah. Saya harus pulang,”tolak Akiko halus.
“Memangnya kau mau kemana, Akiko-chan? Ayolah temani kami makan. Kebetulan aku memasak ebi furai kesukaanmu,”ajak Harumi lagi. Kali ini ia tak bisa menolaknya.
“Wah, benar-benar masakan khas musim gugur. Kuri gohan, sanma furai dan buah kesemek ini enak sekali, ya. Ibumu pandai sekali memasak,”puji Yamada saat mereka bersantap bersama.”Bagaimana menurutmu, Affan-san?”
Akiko tersenyum seraya menegakkan telinga untuk mendengarkan komentar Affan.
Totemo oishii desu ne. Ini benar-benar enak. Hanya disini aku bisa makan ini. Terimakasih, Akiko-san,”puji  Affan tulus.
“Seharusnya saya yang berterima kasih, Affan-san,”Akiko menundukkan kepalanya sekejab.
You are welcome, Akiko-san,”sahut Affan.
**&&&**
“Affan-san, bolehkah aku bertanya sesuatu?” tanya Akiko saat mereka sedang minum teh diruang tamu bersama Harumi dan Yamada.
Doozo,”Affan mempersilahkan.
“Setiap sore hari kau menyanyikan lagu doa. Lagu doa semacam apa itu?”
“Oh, itu.Yang kau dengar itu bukan lagu doa,tapi aku sedang membaca Al Quran. Kitab suci agamaku. Agama Islam. Pernah dengar tentang Islam?”
Akiko mengangguk.”Ya, pernah dengar. Maaf, tapi yang aku dengar itu agama teroris. Beberapa temanku membicarakannya begitu.”
Affan tersenyum. Ia tak heran dengan apa yang dikatakan Akiko. ”Islam bukan agama teroris, Akiko. Islam itu sebenarnya agama yang rahmatan lil alamin. Cinta damai. Agama Islam menyarankan umatnya untuk senantiasa menyerukan kebaikan dan kerukunan dengan umat yang lain. Seperti yang kau tahu sekarang. Aku dan Yamada-san bersahabat sejak sama-sama kuliah di Tokyo University. Hingga akhirnya kami merintis bisnis bersama di Indonesia. Agama bukan halangan bagi kami untuk bersahabat. Kami saling menghormati satu sama lain,”tutur pemuda itu.
Aaa...so desu ka? Jadi Islam itu agama yang cinta damai, ya? Pantas saja lagu doanya menenangkan hati,”ujar Akiko.
Bibir Affan kembali menyunggingkan senyum. ”Bukan lagu doa, tapi bacaan Al Quran. Kitab suci agama Islam,”pemuda itu kembali memberi pengertian.
Akiko mengangguk.”Gomen ne. Eee...Affan-san,bisakah aku belajar tentang Islam padamu?”
“Hmm...begini,  Akiko-san.  Bukan aku tak mau mengajarimu. Lusa aku dan Yamada-san harus kembali terbang ke Indonesia. Mungkin nanti aku akan meminta bantuan Sakina-san, temanku dari Islamic  Centre. Nanti dia yang akan mendampingimu mengenal Islam. Bagaimana?”tanya Affan.
“Jadi kau akan pulang ke Indonesia lusa?”
“Ya, bersama Yamada-san. Kenapa?”
“Apa Indonesia itu jauh?”
“Kalau jalan kaki, pasti jauh,”canda pemuda itu.
Akiko tertawa dibuatnya. Tapi ia tak bisa menyangkal ada rasa sedih menjalari hatinya. Itu artinya aku tak bisa mendengarkanmu membaca doamu lagi, bisik hatinya.
“Hanya beberapa jam saja naik pesawat terbang,” ujar pemuda itu lagi. Kali ini tidak dengan nada bercanda.
“Seperti apa Indonesia itu?”tanya Akiko lagi.
“Indonesia itu negara yang indah. Matahari bersinar sepanjang musim. Lautnya membiru indah, gunungnya menghijau permai,”ujar Affan dengan mata menerawang jauh.
“Kedengarannya negara itu sangat indah. Sayang aku tak bisa melihatnya,”kata Akiko pelan.
Gomen ne. Aku tak bermaksud untuk ....”
“Tidak mengapa, Affan-san. Aku tak menyesal menjadi buta sejak aku kecil. Dewa di atas sana pasti punya maksud baik padaku.”
“Kau gadis yang baik, Akiko,”puji  Affan tulus. Andai kau tahu betapa cantik wajahmu, batin pemuda itu seraya beristighfar dalam hati.
Tiba-tiba Yamada-san datang seraya menenteng hape di tangannya. “Kita harus kembali ke Indonesia besok,  Affan-san. Klien minta tanda tangan kontrak kerja dengan kita dipercepat sebab dia harus mengurusi bisnisnya yang lain di Amerika,”ujarnya.
“Baiklah, kita pulang besok. Ambil penerbangan kapan?”
“Kita ambil pagi saja. Aku akan pesankan tiketnya sekarang.” Yamada-san segera naik ke lantai atas menuju ruang kerjanya.
Sementara Harumi yang sedari tadi menyimak pembicaraan mereka seraya menonton tivi, meninggalkan mereka sebentar dan datang dengan sepiring kue waffle coklat buatannya. “Ayo dicicipi. Masih hangat,”ujarnya ramah.
Akiko terdiam. Hatinya resah. Kue waffle coklat buatan Harumi yang hangat dan legit itu serasa hambar di mulutnya. Kenapa harus besok? Kenapa? Oh, Dewa, jangan biarkan dia pergi secepat ini, batinnya. Dia tak menyadari Harumi memperhatikannya sedari tadi.
**&&&**
Hari ini hari minggu. Cuaca berawan tapi tak menyurutkan anak-anak yang riang gembira bermain di sebuah kouen bersama orang tua mereka. Semua terlihat ceria dengan sweater dan syal yang menggantung di leher. Menjelang akhir musim gugur begini, hawanya mulai beranjak dingin dari yang sudah-sudah. Pepohonan momiji masih menyisakan dedaunannya di sela-sela ranting yang mulai meranggas. Beberapa berguguran tersepak kesana kemari oleh angin. Hingga salah satu daunnya hinggap di ujung sepatu Akiko.
Gadis itu merapatkan baju hangatnya. Sesekali ia betulkan letak jilbab di kepalanya. Ia memang tak biasa memakai kain di kepalanya. Tapi ia merasa harus melakukannya. Kata Sakina-san ini salah satu menjadi muslimah yang baik. Lagipula ia merasa hangat dan nyaman dari udara dingin di sekitarnya. Tak lama ia mendengar suara langkah kaki mendekati bangku tempatnya duduk.
“Ini untukmu,” suara Sakina yang ramah terdengar lembut di telinganya. Ia menyodorkan sepotong  ishiyaki imo yang masih panas mengepul dan berbungkus kertas pada Akiko.
Arigatou, Sakina-san.” Ia menerima ubi bakar itu dan mulai membuka kulitnya pelan-pelan. Bibirnya tak henti meniup-niup ubi yang masih panas itu lalu menikmatinya.
“Asyik juga, ya, dingin-dingin begini makan ishiyaki imo. Badan jadi hangat,” kata Sakina.
Akiko tersenyum. “Ya, kau benar. Seandainya ada Affan-san, pasti lebih menyenangkan, ya,” ujar Akiko membuat Sakina tak jadi memakan ubi bakarnya. “Apa kabarnya dia sekarang? Apakah kau tahu, Sakina-san, aku sangat merindukannya.”
Sakina memeluk Akiko dengan tangan kirinya. “Akiko-san, perasaan cintamu pada Affan-san itu tak salah. Perasaan itu merupakan anugrah yang suci dari Allah untuk makhlukNya. Tapi akan lebih baik jika cinta putih itu lebih dialamatkan pada Allah, Tuhan pemilik alam semesta. Jodoh manusia itu sudah ada yang mengatur. Jadi berserahlah padaNya, Akiko-san,” nasehat gadis bermata indah itu.
“Ya, kau benar, Sakina-san.”
“Hei, bersemangatlah, Akiko-san. Allah pasti menyiapkan lelaki yang terbaik untukmu, yang bisa membimbingmu dan menjadi imammu. Insyaallah. Yakinlah itu,” ujar Sakina membesarkan hati Akiko.
Tiba-tiba ponsel Sakina berbunyi. Ada pesan dari Harumi-san. “Sudahkah kau memberitahu Akiko yang sebenarnya?” Fuh! Sakina menghela napas berat. Akiko terkesiap.
“Ada apa, Sakina-san?”
“Ah, tidak apa-apa, Akiko-san. Hanya sebuah pesan dari temanku.”
Aaa...so desu ka?” ujar Akiko seraya terus menikmati ishiyaki imonya.
Hai!” jawab Sakina seraya tersenyum dan mengeluarkan sebuah undangan dari saku bajunya. Ya, undangan pernikahan Affan yang ia terima kemaren dari Indonesia. Aku harus membesarkan hati Akiko agar ia lebih siap menerima kenyataan sebelum aku memberitahu yang sebenarnya, batin Sakina dengan tenggorokan yang tercekat.
Sementara Akiko bersenandung pelan diliputi hati yang merindu. “Haru no...Haru no Ai. Ki no momiji shita ni anata o machimasu. Momiji ga chiru...anata ga koishi. Itsu kaereru desu ka?”
Dan dedaunan momiji pun berguguran tertiup angin bersama senandung rindu seorang gadis yang menyentuh kalbu.
**TAMAT**
Catatan :
1.       Sanma furai : ikan sanma goreng.
2.       Ebi furai : udang goreng
3.       Kuri gohan : nasi yang dicampur biji kuri (seperti kacang)
4.       Ishiyaki imo : ubi bakar
5.       Haru no Ai : cinta musim gugur
6.       Ki no momiji shita ni anata o machimasu : menunggumu dibawah pohon momiji.
7.       Momiji ga chiru : daun momiji berguguran.
8.       Anata ga koishi : merindukanmu.
9.       Itsu kaereru desu ka? : kapan bisa pulang?

My Short Story 1


Edelweiss Untuk Fatimah
                                                                                                                       
Kaki-kaki kecil  Akhtar berlari menyambut kedatanganku. Tak ada wajah ceria seperti biasanya. Matanya sembab seperti habis menangis. Belum sempat aku parkir sepeda onta tuaku, Akhtar sudah menghambur ke arahku. Tangan-tangan kecilnya mendekap erat tubuhku yang masih bau keringat. Aku tersenyum. Kuelus kepalanya seperti biasanya.
“Eh, ada apa ini? Kok, jagoane Bulik Fat nangis to? Katanya laki-laki ndak boleh cengeng?” hiburku. “Kamu diganggu Mas Sigit lagi?”
Kepalanya menggeleng. “Buk’e…Buk’e…” cuma itu yang keluar dari bibir mungilnya dan tangisnya pecah lagi.
“Buk’e kenapa?”
“Buk’e sakit lagi…hiks…hiks…hiks!!!”
“Yo wis, yo wis…cup cup cup, ndak boleh nangis. Ayo, kita masuk dulu,” ujarku seraya memarkir sepeda dan menggendong bocah empat tahun itu ke dalam rumah.
Rumah Yu Dijah terlihat lengang. Sepi tak ada orang. Kulangkahkan kaki menuju kamar kakak perempuanku itu. Disana kudapati  keponakan-keponakanku yang besar sedang menunggui ibunya yang sakit.  Kinasih, si sulung sedang menyuapi bubur ibunya. Siti dan Sigit, anak-anaknya yang lain sedang memijit-mijit kaki ibunya.
“Baru pulang, Fat? “ tanya Yu Dijah padaku. Wajahnya yang pucat dan kuyu mencoba tersenyum padaku. Badannya tampak kurus kering digerogoti kanker rahim yang bersarang di tubuhnya.
“Iya, Yu,” jawabku seraya menurunkan Akhtar dari gendonganku. “Sudah minum obat?”
“Tadi pagi sudah, bulik. Siangnya yang belum. Ini buburnya belum habis. Tadi Buk’e kesakitan lagi,” ujar Kinasih.
“Iya, barusan sebelum bulik datang, buk’e kesakitan lagi. Akhtar sampai takut dan nangis,” sahut Sigit.
“Bapakmu kemana?” tanyaku.
“Bapak tadi pulang sebentar, sekarang lagi nyusul  pak dokter Hasan. Sebentar lagi mungkin datang. Kita disuruh tunggu di sini,” kata Kinasih lagi. Gadis berumur lima belas tahun itu tampak telaten menyuapi ibunya.
“Sudah, Sih,” Yu Dijah menyorongkan piring dengan tangannya. Ia tak ingin makan lagi.
“Buk’e, dihabiskan dulu. Satu suap lagi ya. Nanti habis ini minum obat terus tidur,” bujuk anak sulungnya.
Yu Dijah menggeleng. “Wis!” tegasnya. Tak mau lagi. Kinasih pun mengalah lalu meminumkan obat pada ibunya. Setelah itu dia beranjak ke dapur untuk mencuci piring dan gelas yang kotor.
“Sigit, Siti, ajak main Akhtar ke luar ya, nak. Buk’e mau sama bulik Fat sebentar,” pinta Yu Dijah pada anak-anaknya yang lain.
Tanpa banyak bicara kedua anak itu turun dari ranjang ibunya dan menggendong adik mereka keluar kamar untuk bermain. Kini tinggal aku dan Yu Dijah berdua saja. Yu Dijah menyuruhku menutup pintu kamar.
“Ada apa, to, Yu? Kok sampai menutup pintu segala?” tanyaku.
“Aku mau ngomong sama kamu, Fat. Ini penting,” ujar  kakakku itu.” Sini…duduk sini.”
“Ada apa, Yu?” tanyaku setelah duduk di sisinya.
“Fat….,”
Yu Dijah terdiam sebentar. Matanya yang cekung dan menghitam seperti menerawang. Lalu menatapku dengan berkaca-kaca.
“Fat….aku merasa hidupku tidak lama lagi. Aku tahu penyakitku ini sudah tak bisa disembuhkan lagi. Aku mau titip anak-anak padamu, Fat. Kalau aku meninggal nanti, aku mohon kamu mau menikah dengan mas Narto dan jadi ibu mereka, menggantikan aku,” tutur Yu Dijah.
Aku terperangah mendengar permintaan Yu Dijah. “Yu, jangan ngomong seperti itu dulu. Insyaallah penyakit Yu Dijah bisa sembuh. Jangan putus asa, Yu,” ujarku tanpa bisa menahan bulir air mata. Hatiku seperti teriris mendengar ucapan kakakku satu-satunya itu.
Yu Dijah menggeleng. Tangannya yang kurus kering itu menggenggam tanganku erat. Matanya memandangku lekat-lekat. Memohon dengan sangat. Ah…aku tak kuasa melihatnya. Aku tak bisa. Aku tak kuat. Tak ada kata yang terucap, hanya lirih suara tangisku yang terdengar.
“Ini permintaan terakhirku, Fat. Kasihanilah anak-anakku, Fat. Mereka itu ponakan-ponakanmu  juga. Jika kau mau, aku doakan kebahagiaan selalu mengiringi hidupmu hingga tua nanti karena mau mengasuh dan menyayangi anak-anak piatu ini, Fat,” tutur Yu Dijah lagi.
Kupeluk tubuh ringkih kakakku itu dengan erat.  Ya Rabb…aku tak mau kehilangan dia. Kumohon beri kesembuhan untuknya, doaku pilu. Kamipun larut dalam tangis. Sungguh, permintaannya bukan suatu yang mudah untuk kupenuhi. Tapi sungguh, tak ada kata yang bisa terucap. Kelu rasanya lidahku. Hanya diamku dan airmataku yang menjadi sebuah jawab saat itu.
**&&&**
Angin berhembus semilir  memainkan gorden jendela kamar. Suara jangkrik dan kodok saling bersahutan melagukan sebuah melody malam di persawahan. Langit gelap penuh gemintang. Bulan  purnama memantulkan sinarnya di atas air kolam. Lembar-lembar soal ulangan umum berserak di atas meja. Ada puluhan lembar yang harus aku koreksi. Namun tak sedikitpun tanganku tergerak untuk menyentuhnya. Pikiranku melayang pada kejadian tadi siang. Pada permintaan Yu Dijah.
Ah…hatiku resah, bingung, bimbang, semua campur jadi satu. Apa yang harus aku kulakukan? Haruskah aku memenuhi permintaan kakakku ini? Yang mungkin saja menjadi permintaan terakhir? Lalu apa yang harus aku katakan pada Mas Budi? Lelaki yang dekat denganku akhir-akhir ini? Dia berniat untuk serius padaku meskipun belum ada lamaran yang datang darinya. Mas Budi seorang jejaka mapan, PNS sebuah departemen di kotaku, dari keluarga baik-baik, tampan dan cerdas pula. Haruskah aku mengorbankan Mas Budi yang begitu sempurna dimataku lalu menikah dengan Mas Narto, kakak iparku, yang bila kakakku meninggal dia berstatus sebagai duda beranak empat?
Kalau aku tak memenuhi permintaan kakakku, bagaimana nasib keempat ponakanku? Kalau Mas Narto bisa mencarikan ibu yang baik buat mereka, tidak ada masalah. Tapi jika dengan kehadiran ibu tiri mereka nantinya akan sengsara, bukankah aku juga akan menanggung rasa bersalah seumur hidupku? Membiarkan ponakan-ponakanku di tangan ibu tiri yang kejam? Ah, tidak!!! Aku tak bisa. Apalagi jika melihat si kecil, Akhtar, yang begitu dekat denganku. Bahkan menganggap aku seperti ibunya sendiri. Ah, anak sepolos itu. Tak tega rasanya menjadikannya korban keegoisanku. Tapi untuk menikah dengan Mas Narto pun bukan keputusan yang mudah bagiku…Ah, aku benar-benar bingung. Memikirkannya membuat kepalaku pusing.
Suara derit pintu kamar membuatku tersadar dari lamunan. Ibu sudah berada di depan pintu. Wanita sepuh berumur enampuluh tahun itu tersenyum padaku. Garis-garis kecantikannya masih terlihat jelas diantara kerut-kerut kulit wajahnya. Wajah yang penuh cinta dan kesabaran.
“Kowe sik nggarap raport to, Nduk?” tanya ibu seraya menghampiriku.
Aku hanya mengangguk lalu tertunduk lesu menekuri kertas-kertas yang berserakan di atas meja kayu tuaku.
“Mikir opo, to, Nduk?” tanya ibu seraya membelai rambutku.
“Yu Dijah, Buk’e. Apa Buk’e sudah tahu?” tanyaku.
Ibu tak segera menjawab. Ia mengambil duduk di sisi ranjangku. “Yo, Buk’e wes ngerti penjaluke Mbakyumu kae.”
“Trus menurut Buk’e, Fat harus bagaimana? Fat bingung…” tanpa terasa airmataku mengembun di sudut mata.
“Buk’e ngerti perasaanmu, Fat. Tapi kalau sampai Mbakyumu meninggal, sebaiknya menikahlah dengan Narto. Demi Mbakyumu, demi keponakan-keponakanmu,” tutur wanita termulia itu.
“Tapi bagaimana dengan Mas Budi, Buk’e? Fat ndak bisa meninggalkan Mas Budi begitu saja. Fat sangat menginginkan Mas Budi jadi suami Fat. Begitupun Mas Budi. Kami sudah saling sepakat soal itu, Buk’e,” jelasku.
Ibu terdiam. Mata tuanya menatap lekat padaku. “Mintalah yang terbaik sama Allah, Nduk. Ini soal pilihan hidup. Semua terserah kowe. Toh, Mbakyumu masih ada dan Budi juga belum melamarmu,” tutur ibu sebelum beranjak meninggalkan aku sendiri.
Aku terhenyak mendengar kata-kata ibu. Tak berapa lama kemudian terdengar suara adzan dari masjid. Waktu isya’ telah tiba. Segera kuayun langkah menuju kamar mandi. Kuambil wudhu lalu kuhamparkan sajadah menghadap kiblat. Ya Rabb, beri aku petunjukMu…Beri aku petunjukMu.
**&&&**
Pintu ruang kelas diketuk perlahan saat aku tengah menerangkan peta buta pada murid-muridku. Kupersilahkan si pengetuk pintu untuk masuk. Rupanya Pak Gofar. Guru agama setengah baya itu masuk dengan langkah tergopoh-gopoh menghampiriku.
“Bu Fat, saya harap bu Fat tabah, ya. Ini ada berita duka. Bu Khadijah, kakak bu Fat meninggal dunia. Sekarang bu Fat ditunggu keluarga di rumah. Biar nanti bu Halimah yang menggantikan bu Fat,” ujar Pak Gofar hati-hati sekali.
Aku terperangah mendengar kabar ini. Bibirku hanya bisa berucap, “Innalillahi wa innailaihirojiun.” Dalam hati ada rasa tak percaya. Mana mungkin Yu Dijah meninggal secepat ini? Bukankah tadi pagi dia makan banyak sekali dan kata dokter kondisinya mulai berangsur pulih.
“Apa bu Fat baik-baik saja? Apa perlu saya antar?” tanya Pak Gofar sedikit kuatir melihat mimik wajahku.
“Tidak usah, Pak. Maturnuwun sanget. Saya bisa pulang sendiri,” ujarku.
Tanpa banyak kata lagi, segera kukemasi tas dan bukuku. Kaki-kakiku berlari ke arah parkir sepeda dan kupacu onta tuaku melewati jalanan berbatu sejauh tiga kilometer untuk pulang ke rumah. Yu, kenapa kau tak menungguku? Ya Rabb, desis hatiku. Tanpa terasa airmataku jatuh lagi membasahi jilbab putihku yang mulai kusam terbakar mentari.
Sesampai di rumah, kujumpai sudah banyak orang yang melayat. Suasana duka menyeruak seketika. Kuhempaskan begitu saja onta tuaku ke atas tanah. Setengah berlari aku masuk ke ruang tamu. Disana sudah terbujur Yu Dijah. Diam, tak bergeming. Terbungkus kain kafan. Aku berjalan seolah tanpa nyawa mendekati jasad kakakku yang sudah terbujur kaku itu.
“Yu, bangun, Yu…Kenapa kau tak menungguku, Yu?” isakku di sisi jenazahnya.
Tiba-tiba seseorang memegang bahuku dari belakang. “Fat, menangis boleh, tapi jangan meratap, yo, Nduk. Ndak baik kata Rasulullah,” tutur Yu Karti, tetanggaku dengan hati-hati. Aku masih tak bisa menghentikan tangisku.
“Bulik…bulik…hiks..hiks…hiks!!!” sebuah rengekan kecil yang kukenal betul suaranya. Aku menoleh ke belakang. Ah, si kecilku sayang. Akhtar yang malang. Ia menjulurkan tangan-tangan kecilnya, ingin memelukku. Kusambut tangannya dan kudekap erat tubuh kecilnya dalam pelukku. Oh, Tuhan…anak sekecil ini harus kehilangan seorang ibu. Bagaimana mungkin aku tega melepaskan si kecil kesayanganku ini?
Sementara tak jauh dari tempatku duduk, Kinasih, Siti dan Sigit tampak tenggelam dalam pelukan ayah mereka. Kinasih memandangku dengan mata sembab. Lalu memandang kearah ibunya. Tiba-tiba dia menghampiriku. “Bulik, aku sudah nggak punya ibu….,” ujarnya seraya memelukku.
“Jangan sedih, yo, Sih. Kamu masih punya Bulik, punya Eyang Putri, punya Bapak, punya saudara-saudaramu ini. Jangan sedih, ya,” hiburku pada si sulung ini dengan suara lirih.
Kinasih mengangguk sedih. Aku merasa ada yang ingin dia katakan. Tapi dia tak bisa mengungkapkannya. Ah, aku mengerti. Sangat mengerti.
**&&&**
Lelaki di depanku ini terlihat gelisah. Berkali-kali dia mengusap dagunya yang ditumbuhi jenggot tipis dengan ujung ibujari dan telunjuknya. Sebuah kebiasaan yang kuhafal bila dia sedang memikirkan sesuatu. Sementara aku tertunduk diam tak berani menatap wajahnya. Aku pun resah, tapi aku tak punya jalan lain selain berterusterang padanya tentang apa yang kualami. Berat untuk kukatakan, tapi harus aku jelaskan semuanya.
“Lalu bagaimana dengan hubungan kita, Fat?” akhirnya terlontar juga pertanyaan dari mulut mas Budi menyibak keheningan yang meraja selama beberapa saat.
“Saya belum bisa memutuskan apapun, mas. Saya bingung…” jawabku masih dengan mata yang tertunduk hampa menekuri dinginnya lantai.
Angin sepoi berhembus dari arah taman yang terletak  di samping beranda tempat kami duduk. Membawa aroma mawar-mawar merah yang sedang merekah kelopaknya. Beberapa kumbang dan kupu-kupu tampak mengitari bunga-bunga cantik itu. Berlomba menghisap madu. Burung-burung srigunting tampak melayang-layang di birunya langit sore. Menghantar mentari di penghujung hari ke peraduannya dengan tarian kepak sayap mungilnya.
“Aku akan menunggumu memutuskannya, Fat. Tapi kalau bisa jangan terlalu lama. Segera beritahu aku begitu kau memutuskannya,” tegas mas Budi. “Kalau begitu aku pamit dulu. Salamku pada ibu.” Mas Budi beranjak dari tempat duduknya menuju vespa biru langitnya yang terparkir di halaman rumah.
“Kok terburu-buru, mas. Masih dibikinkan minum sama ibu,” cegahku seraya mengiringi langkahnya dari belakang.
“Terima kasih. Aku masih ada janji dengan teman di bengkel,” ujarnya memberi alasan.
“Mas…..,” entah kenapa tenggorokanku seperti tercekat.
“Ya?” lelaki itu berbalik dan bertanya.
Aku menggeleng. “Tidak ada. Hati-hati di jalan,” akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulutku. Uff!!! Sekuat hati aku  menahan degub jantung yang semakin tak beraturan dalam dadaku.
Mas Budi tersenyum.  Matanya yang agak sipit dan berkacamata membentuk lengkung yang khas di wajahnya. Ah, wajah teduh itu membuatku tak bisa berkata-kata. Aku tak bisa memberi harapan lebih padanya. Ada hal lain yang juga penting untuk dipertimbangkan. Ya, masa depan anak-anak Yu Dijah. Bila teringat permintaan Yu Dijah waktu itu….
“Aku pulang dulu, Fat. Assalamualaikum,” pamit mas Budi menyadarkan aku dari lamunan.
Deru roda-roda vespa terdengar bergerak menuju jalanan desa yang berbatu.  Kutatap punggung lelaki itu hingga menghilang di balik tikungan. Aku tahu dia resah, aku pun sama. Yang kulakukan hanyalah berusaha sebaik mungkin agar Allah SWT berkenan memberi  jodoh yang terbaik menurutNya.
**&&&**
“Fat, jangan terlalu terbebani dengan permintaan istriku. Tidak ada yang memaksamu untuk melakukannya. Aku dan anak-anak sudah sangat berterimakasih karena selama ini kamu sudah banyak membantu merawat Mbakyumu. Aku masih bisa dan mampu merawat mereka sendirian, kok. Jangan kuatir,” ujar Mas Narto usai selamatan empat puluh hari Yu Dijah.
Aku hanya diam seraya mengelus kepala Akhtar yang tertidur lelap di pelukanku. Tangan-tangan kecilnya terkulai di sisi pinggangku pertanda si kecil ini sudah terbuai di alam mimpi indahnya. Wajah mungil yang sedang terlelap itu menawarkan kedamaian tanpa batas.
“Yu Dijah yang meminta saya, Mas. Dan sampai Yu Dijah tiada, saya belum memutuskan apapun. Ini memang berat buat saya, Mas. Entah kenapa Gusti Allah memberi saya ujian berupa pilihan seperti ini. Yang saya inginkan, apapun keputusan saya nanti, insyaallah bermanfaat buat semua dan saya ikhlas menjalani. Itu saja,” jawabku akhirnya.
“Aku hanya ndak mau jadi penghalang hubunganmu dengan Budi, Fat. Kalau aku pribadi memang menginginkan ada pengganti ibu untuk anak-anakku. Tapi ndak harus kamu, Fat. Kalaupun kamu mau memenuhi permintaan Mbakyumu, ya, silahkan. Itu akan lebih baik untuk anak-anak. Terutama si Tole. Dia kelihatan tambah lengket denganmu setelah ibunya tiada. Tapi sekali lagi, pikirkan baik-baik sebelum memutuskannya,” tutur kakak iparku itu.
“Iya, Mas,”Aku  mengangguk lalu menggendong si kecil ke kamar tidurnya. Seperti biasa aku mendaratkan sebuah ciuman pada pipinya yang lembut seperti sutra. “Selamat tidur, sayang. Mimpi yang indah, ya, nak,” bisikku seraya menyelimuti tubuhnya dengan selimut.
“Bulik…” tiba-tiba terdengar suara serak di sebelah Akhtar. Oh, Siti terbangun rupanya.
“Ada apa, Siti?” tanyaku.
Gadis kelas enam SD itu nampak memandang lekat padaku. “Bulik tidur di sini, ya. Biar ndak sepi.”
Aku tersenyum. Aku paham betapa kesepiannya mereka tanpa ibu. “ Tapi Bulik harus pulang ke rumah Eyang. Besok harus mengajar,” tolakku halus.
“Biar kamu tidur di sini saja sama anak-anak, Fat. Aku tak tidur di ruang tamu bareng sama Kang Nadjib. Nanti aku bilang ibu kalau kamu tidur di sini,” Suara Mas Narto terdengar di balik pintu. Rupanya ia mendengar percakapanku dengan Siti.
Kupandang Siti. Gadis itu mengangguk dan segera beringsut memberi tempat padaku. Ya, sudahlah. Aku mengalah. Malam ini kuhabiskan malam bersama ponakan-ponakanku tercinta.
**&&&***
Hari ini hari Minggu. Kuputuskan untuk bersilaturahmi ke rumah Ustadzah Husna, guru mengajiku sejak kecil yang sekarang sudah pindah ke desa sebelah. Tak lupa si Akhtar kubawa serta. Dia tampak riang kubawa jalan-jalan. Apalagi setelah sampai di rumah Ustadzah Husna, kami dibawa ke taman belakang rumah beliau yang asri, lengkap dengan gazebo dan kolam ikan koinya. Bisa dibayangkan betapa senangnya si kecil bermain dan melihat ikan-ikan yang indah itu. Apalagi ia ditemani Ridwan, putra tunggal Ustadzah yang duduk di bangku smp kelas satu. Langsung lupa sama Buliknya, hehehe…
“Subhanallah, jadi Allah memberi  pilihan itu sama Fat, ya?”kata Ustadzah dengan senyum mengembang manis di bibirnya.
“Iya, Ustadzah. Saya bingung sekali. Akhir-akhir ini istikharah dan tahajud saya masih belum menampakkan hasil,” keluhku. “Di satu sisi saya berat kalau harus memutuskan Mas Budi. Kami sudah sama-sama serius dan merencanakan untuk menikah. Tapi kalau saya memilih Mas Budi, bagaimana nasib keponakan-keponakan saya? Mas Narto memang tidak memaksa saya menikah dengannya, tapi kalau ingat Yu Dijah, saya merasa berdosa kalau tidak memenuhi permintaan terakhirnya waktu itu. Bagaimana, Ustadzah? Apa yang harus saya lakukan?”
“Satu hal yang pasti, Nduk. Allah SWT menciptakan makhluknya berpasang-pasangan. Dan jodoh itu mutlak di tanganNya. Tapi manusia harus terus berusaha mendapatkannya. Yang penting sekarang niat untuk menikah haruslah untuk ibadah pula. Karena menikah itu perjanjian yang berat dengan Allah SWT. Mitsaqan Ghalidzan. Pertanggungjawabannya bukan hanya di dunia tapi juga di akhirat kelak,” Ustadzah Husna memulai nasehatnya.
“Kalau melihat masalahmu ini, memang rumit. Mana yang harus diutamakan. Keluarga sendiri atau orang lain. Ini hanya saran, mungkin sebaiknya kita melihat apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Rasulullah sangat mencintai anak yatim. Dalam hadist riwayat Bukhori  disebutkan bahwa “Aku dan orang-orang yang mengasuh dan menyantuni anak yatim di Surga seperti ini, kemudian beliau member isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah seraya sedikit merenggangkannya”. Lalu ada sebuah hadist riwayat Muslim yang menyebutkan bahwa “Sebaik-baiknya wanita adalah yang paling sayang terhadap anak yatim yang masih kecil.” Apalagi ini masih keluarga sendiri, keponakanmu sendiri. Ini justru ladang amal shalih yang sedang dipersiapkan Allah SWT untukmu. Akan tetapi tetap saja kau yang memutuskannya sendiri. Ini hidupmu, masa depanmu, Nduk. Pikirkan baik-baik sambil terus minta petunjukNya. Insyaallah dalam waktu dekat kau akan diberi kemantapan hati,” tutur Ustadzah berwajah teduh itu. Terasa dalam menyentuh hati.
“Bulik…Bulik…ikannya besar-besar!!! Tadi sama Mas Ridwan ikannya dikasih makan,” seru Akhtar dengan wajah riang. Kaki-kaki  kecilnya berlari ke arahku.
“Bocah ganteng, ayo diminum dulu tehnya. Abis itu main lagi sama Mas Ridwan, ya,” kata Ustadzah seraya menyodorkan segelas teh hangat pada Akhtar.
Akhtar memandangku. “Bulek, mimik….”ujarnya manja. Tubuh kecilnya kupangku supaya bisa minum dengan benar dan tidak tersedak.
“Pelan-pelan,” bisikku melihatnya begitu bernafsu meminum teh.
“Aku boleh minta itu?” tanyanya seusai minum. Telunjuknya menunjuk kue dadar gulung yang terhidang di piring sedang.
“Ambil saja. Bawa ke sana. Tuh, udah dipanggil Mas Ridwan,” kata Ustadzah Husna.
“Ayo, dek, main sini sama Mas,” panggil Ridwan seraya melambaikan tangan. Secepat kilat Akhtar berlari kearah Ridwan sembari membawa sebungkus dadar gulung di tangannya.
“Sepertinya Akhtar sangat dekat denganmu, Nduk. Kamu sudah seperti ibu baginya,” ujar wanita paruh baya itu padaku.
Aku tersenyum mendengarnya. “Iya, Ustadzah. Sejak ibunya sakit, dia selalu sama saya. Kemana-mana saya bawa. Sering dikira anak saya,” sahutku.
“Semoga ladang amal itu tak sampai jatuh ke tangan orang lain, Nduk. Ndak salah to kalau gurumu ini berharap yang terbaik?”
“Doakan saya, Ustadzah,” kupandang wajah Ustadzah Husna lekat-lekat.
“Insyaallah, Nduk. Kamu gadis yang baik. Allah SWT pasti akan memberimu petunjukNya,” ucapnya dengan seulas senyum penuh ketulusan yang manis terkembang.
**&&&**
Penjor-penjor janur kuning sudah berdiri tegak dengan anggunnya di depan rumah. Gending jawa mengalun merdu mengawali pagi yang cerah itu. Suara anak-anak ramai terdengar di halaman rumah. Lincah berlarian ke sana kemari diantara bapak-bapak yang sedang memasang tenda biru untuk hajatan nanti. Sementara kaum ibu tampak sibuk mengolah hidangan di dapur, berkubang dengan kepulan asap dari tungku dan kompor. Semua tampak ceria, semua bersuka cita.
Bu Joyo, sang perias pengantin tampak sibuk mempersiapkan segala sesuatu. Dibantu beberapa asistennya, ia menyulap kamarku yang sederhana menjadi meriah dan penuh bunga. Sementara menunggu kamarku dipermak, aku memilih menyendiri di mushalla, sebuah bilik kecil dalam rumah untuk shalat. Menyendiri ditemani butiran tasbih.Tak bisa kutahan jatuhnya bulir bening dari mataku saat aku teringat percakapanku dengan Mas Budi beberapa hari yang lalu.
“Maafkan aku, Mas…”
Mas Budi menghela napas panjang. “Jadi itu keputusanmu, Fat?”
Aku tertunduk diam. Berusaha meredam gejolak hati yang campur aduk tak terkatakan.
“Apa memang sudah tidak ada lagi kesempatan untuk berubah pikiran? Jika kau memang berubah pikiran, besok aku akan minta keluargaku untuk datang melamarmu,” Mas Budi masih bersikeras rupanya.
“Maaf…” sekali lagi hanya kata itu yang bisa keluar dari mulutku.
“Baiklah. Kalau memang itu keputusanmu, kudoakan kau berbahagia,” ucapnya getir. Gurat kekecewaan begitu tampak di wajahnya.
“Terima kasih, Mas, atas doanya. Saya berharap Mas Budi juga dapat yang lebih baik dari saya,” kataku sedikit terbata menahan sesaknya rasa di dada. Ya Rabb, sungguh ini bukan hal yang mudah bagiku. Tapi kumohon kuatkan azzamku, bisikku lirih dari dalam hati.
“Nduk, kamarmu sudah selesai. Ayo, siap-siap. Bu Joyo sudah menunggu,”suara ibu tiba-tiba terdengar di belakangku. Butiran tasbih di tanganku berhenti bergerak dan akupun segera melepas mukena dan melangkah menuju kamarku.
Tepat jam sepuluh pagi Mas Narto mengucapkan ijab kabul dengan lancar tanpa kesalahan sedikitpun. Resmilah aku menjadi ibu bagi anak-anak Yu Dijah. Sebuah tugas yang berat menikah dengan duda empat anak sekaligus, tapi entah kenapa saat itu hatiku terasa tenang dan lapang. Ya, aku ikhlas. Apalagi semua ini aku niatkan untuk ibadah. Semoga Allah meridhoi, bisikku seusai Mas Narto mengucapkan ijab kabulnya.
“Bulik…Bulik cantik,” celoteh Akhtar. Matanya yang bulat menatapku dengan segala kepolosannya.
“Oh ya?” sahutku seraya kucium pipinya yang tembam.
“Jangan panggil Bulik lagi, dek,” celetuk Kinasih.       
“Lalu panggil apa, Mbak?” tanya Sigit.
“Piye nek dipanggil Mama Fat?” cetus Kinasih.
Adik-adiknya mengangguk-angguk sambil berpikir.
“Aku setuju. Panggil Mama ae, ya, Bulik…eh, Mama, hehehe,” ujar Siti sambil tertawa.
“Boleh, panggil apa saja boleh. Bulik boleh, Mama juga boleh,” kataku sembari tersenyum geli mendengar celoteh anak-anakku.
“Mama…Mama…Mama,” Akhtar menyebutnya berkali-kali. Tangan kecilnya menyentuh wajahku. “Ini mamaku.”
“Eh, yo, Mamaku juga,” ujar Siti tidak mau kalah.
“Mamanya semuanya wes,” Mas Narto menengahi dengan nada bercanda.
 Kami semua tertawa bersama dalam kamar pengantin. Subhanallah, rasa syukurku serasa berlipat ganda saat itu. Terima kasih, ya, Rabb. Kau berikan anugerah terindahMu padaku untuk hari ini. Jadikan aku sebagai ibu pengganti yang baik untuk anak-anak yatim yang Kau cintai ini. Semoga menjadi berkah untuk saat ini dan kedepannya nanti. Amin..Amin…Amin.
**&&&**
Note : Ucapan terima kasih tak terhingga untuk Ibu Sudarto, di Toli-Toli yang sudah menjadi inspirasi dari cerita di atas.